Aku masih duduk di sofa sebelah jendela itu, menatap perahu perahu yang bersandar dan bergoyang gemulai di dermaga. Senja telah menutup layar kuningjingga kilaunya sejak beberapa jam lalu. Separoh rembulan dan gemintang tergantung di atas gedung gedung jangkung. Kunang kunang elektrik bertaburan. Suara suara malam tak mampu menembus jendela kaca apartemenku yang berada di lantai empat.

Tapi suara suara tadi masih mengiang ngiang� suara suara dalam kotak kaca yang menayangkan film yang pernah menggetarkan hati anak anak muda beberapa tahun silam, dan tadi diputar oleh keponakan keponakanku. Kisah cinta yang dilerai malapetaka yang berujung pada kematian si lelaki, meski keduanya berhasil menyelamatkan diri dari kecelakaan yang menenggelamkan kapal congkak Tytanic. Ajal telah menjemput lelaki yang kelelahan dan terlalu lelap di permukaan samudera� Namun sang perempuan tetap setia pada cintanya, walau helai helai salju telah memahkotainya. Kesetiaan yang tergenggam dalam kalung yang kekal.

Apakah engkau juga pernah menonton film itu, kekasihku? Apakah engkau juga bisa menangkap kesetiaan perempuan yang duduk santai di sofa panjang itu, kekasihku?

Kesetiaan cinta� Ah, masihkah kesetiaan merupakan mutiara hati setiap insan? Jika hanya kematian adalah pedang pemisah kesatuan jiwa, kenapa ketidaksetiaan begitu semena mena mendiktekan suatu perpisahan? Di manakah cinta? Di manakah mutiara?

Terus kupandangi perahu perahu dan siluetnya bersandar di dermaga. Perahu perahu di dermaga sana digoyang goyang gelombang kecil. Seperti juga perahu jiwaku, bergoyang goyang� menanti perahumu, kekasihku. Bilamanakah perahumu merapat? Bilamanakah engkau jemput aku untuk ajakku arungi samudera kehidupan? Apakah perahumu� oh� merapat di dermaga lain yang menjanjikan kegairahan siang malamnya? Haruskah kualami dan selalu kualami kelelahan menunggu perahu pujaanku?

Aku masih duduk di depan jendela apartemen kita, kekasihku. Menunggu perahumu. Semoga perahu segera merapat di dermaga itu, engkau melihatku duduk di sofa panjang di depan jendela ini seperti perahu yang lelah di dermaga itu, lalu kaulambaikan tanda hadir panggil. Bawalah aku, kekasihku. Bawalah aku dengan perahu baru kita. Bawalah aku bersamamu layari samudera kehidupan beserta mimpi mimpi selagi nafas kita masih mampu meniupkan angin yang akan menggiring perahu kita sampai ke pulau kebahagiaan abadi seperti impian impian cinta sepasang anak manusia.

bumiimaji, 16 februari 2004

========================================
Pengirim : Agustinus Wahyono
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *