BANDA ACEH, kota tua yang lusuh. Masjid Raya seperti kehilangan sebuah kearifan. Sisa sisa peradaban kota yang terbelah. Sementara aku seperti perempuan yang baru saja keluar dari kamar mandi dan menemukan diriku tiba tiba berada di daerah penuh debu tebal yang terserak dari sebuah reruntuhan. Rex, sebuah malam, secangkir kopi yang tiba tiba berbayang ribuan manusia yang duduk hanya mengabarkan riwayat atau omong kosong. Kerang kerang memasir melepas jejak jejak yang hanya sekadar lewat. Berisik oleh tapak sepatu, lalu diam lagi. Lampu lampu neon yang semakin menggelisahkanku. Di sini, segala sesuatu seperti selesai dan baru saja dimulai. Percakapan menjadi dongeng yang paling menghibur. Seperti papan catur menebar riwayat tentang peluncur dan ratu.

Barangkali aku tak ingin tersesat, mungkin itu yang ingin kukatakan kepadamu. Sekadar saja atau semestinya. Bahwa aku datang ke kota ini oleh sebuah rasa. Kerinduan purba yang berkecambah, sebuah rindu tentang kedamaian dan kenyamanan hidup. Cinta. Cinta tanpa sengketa lalu barangkali kau ingin menertawakanku karena itu, silakan saja.

Adalah perjalanan ke kotamu menjadi sebuah riwayat, itu pasti. Sebab aku hanya menemukan bangku bangku di pesawat ditandai dengan warna cokelat, hijau dan selembar selendang menutup rambut. Sesuatu yang hanya aku temui di sini. Sementara belantara di bawah sana menyimpan ribuan mata rencong yang tengah diasah beberapa kawanan rakyatmu untuk mencongkel warna itu dari tubuh mereka. Ya, juga suara suara yang nyaris mengaung setiap menit melewati jendela rumahmu. Mungkin kali pertama aku tersentak saat mendengarnya, tapi biarkan saja. Bukankah aku bisa melaluinya. Lalu akankah demikian itu aku diam diam akan menjadi tiran bagimu, sebab mimpiku sederhana saja. Sebuah rumah mungil yang mampu menampung anak anak hujan hijau, embusan angin sawah, beberapa ekor ikan mas di kolam belakang dan tubuh tropismu. Juga sebuah cinta yang kau tanam bersama buah anggur, menatap senja di pantai Ulee Lheu tempat kesepian, kesenduan dan ketegangan muntah di situ. Bagaimana tidak, kita tergelak gelak menahan tawa dan pantai itu meredup dalam ilir ombak yang sayup, jarak tujuh meter sebuah truk tentara di parkir di seberang jembatan. Mungkin mata mereka mengawasi kita, tapi biarkan saja.

SUARA labi labi menyentakkanku. Aku tak mengenal satu pun orang di kampungmu. Tapi melewati gampong ini, aku seperti menemukan riwayat yang sama. Orang orang yang didor di sembarang jalan, mereka bilang GAM dan TNI, tapi aku tak tahu yang mana itu. Masing masing bersenjata dan masing masing berkuasa. Masing masing bisa menentukan hidup dan mati sesiapa. Seperti tuhan, mungkin ini hanya keluhku. Mayat mayat yang dibiarkan tergeletak di sembarang tempat dan dibiarkan membusuk. Mayat yang dibiarkan keluarganya digantung di pohon pinang sebab rasa takut untuk menurunkannya, lalu dibiarkan membusuk di sana hingga tubuh itu dimakan elang dan kawanan burung liar, tinggal kerangkanya memutih di ketinggian. Seperti dongengmu ada beberapa yang terapung dan dibalut lumut. Sungai sungai besar yang membentang sepanjang jalan seperti menuntunku pada perjalanan panjang masa lalu kotamu. Sementara perempuan perempuan di sini ditinggalkan dengan kelamin penuh darah dan muncratan bayi bayi tak berbapak. Rumah rumah yang disilang merah. Langit anak anak yang kehilangan mainan. Dunia mimpi yang ditinggalkan menjadi hutan.

DI kampungku bukan tentara yang membunuh rakyatku. Mereka malah saling bunuh, Sayang. Aku melihatnya. Mereka saling bunuh, saling bakar, saling melukai. Kami menjadi biadab. Haus darah dan penderitaan tetangga. Televisi kami setiap hari mengekspos kriminalitas tetangga kami, pun perbuatan kami. Tentara adalah hero di tempat kami. Ranjang tidur terbaca di setiap media. Mungkin ibu juga bugil di salah satu sudut koran kami. Aha, sialan rahim ini jika meminak anak anak yang kelak hanya akan saling tikam. Padahal aku menyusuinya bukan dengan paranga atau belati.

PERNYATAAN itu menelisik seketika tapi perempuan itu tak tahu arahnya ke mana. Lalu, entah apa yang menghunjam di tubuhnya hingga perempuan itu berteriak seperti ingin melepaskan beban yang terus menghimpitnya sambil mencengkeram perutnya di deretan bangku taksi yang membawa tubuhnya. Ia merasakan rasa sakit yang dahsyat di sana. Di rahimnya. Rasa ingin muntah, sesak, pedih dan tarikan urat urat di perutnya seketika mengeras.

KAU mau ganja? Kau mau seribu kali orgasme? Kau mau kata? Kau mau kebahagiaan dan kasih sayang? Kau mau kenyamanan dan ketenangan? Untuk semua itu kau tak perlu menyulangnya dengan tanganmu. Aku dan Acehku akan menyuapkan langsung dengan mulut kami, menghantarkannya langsung dengan hati kami. Aku selalu ingat kata katamu itu. Gata boh ate, gata boh ate Besok siapkan sarapan pagi. Sepotong roti dengan selai kacang. Jangan lupa koran. Semir sepatuku Beri susu untuk anak anak. O ya, jangan lupa sepotong daging untuk Doggy Rebuskan aku kentang dan telur ayam setengah matang untuk makan malamku. Mari bersantap dengan negara dan bangsa. Bungkus nasionalisme dalam kardus. Rakyat hanya ingin makan dan hidup nyaman. Tak pedulikan romantisme penyair yang gagal atau kanibalnya tetangga. Mereka hanya ingin popor itu tak menghantui tubuh kasar mereka yang siap meletus sewaktu waktu dan memuncratkan warna darah. Langit yang tetap biru dan menyimpan air teduh. Jangan naikkan tarif dasar listrik, telpon dan bensin. Simpan nota nota belanja. Ah, barangkali. Barangkali hari hari itu masih mimpi. Ceracaumu sambil menyantap mie Aceh, pedas sekali.

KITA berjalan melewati pos gardu tentara menuju alamat yang masih kita simpan di balik sobekan kertas. Alamat rumah teduh. Di seberang ada warung kopi dengan beberapa orang tentara dan rakyatmu. Mereka minum kopi. Seorang loper koran berhenti sebentar, juga memesan kopi. Tentara dan rakyatmu membaca koran bersama sama. Korban yang sama dalam baku tembak di Pidie termuat di cover halaman utama koran Serambi Indonesia. Masing masing menyeruput kopi, juga tukang loper koran. Papan catur membujur membawa pion meluncur. Sebuah dunia baru. Dunia yang dibangun oleh kepala rakyatmu. Tapi dunia di sini sepi, hanya capung yang berbunyi, berputar putar seputaran tenda warung kopi. Penjual menyeduh lagi satu gelas kopi untuk seorang tentara. Tak ada baku tembak, kami minum kopi bersama di warung. Siapa yang tahu lelaki yang bersama tentara itu GAM. Tak ada. Ia memiliki KTP berwarna merah putih dengan gambar Garuda Pancasila. Sebuah perlakuan khusus untuk orang orang khusus dan akan selesai pada waktu yang akan ditentukan kemudian. Bukankah bangsa ini sudah berbeda Warna kulit sama tapi ras beda. Bangsa abu abu. Tapi langit masih putih. Kembang kembang mulai redup perlahan. Di sini kami baik baik saja. Tak ada pelanggaran HAM. Seorang lelaki dengan kulit coklat gelap beralis lebat dan rahang persegi yang kuat mengayuh sepeda di depan warung kopi. Belnya yang kendor membuat derit kring terus mengerit dari besi tua itu. Lima meter dari situ, selepas ia lewat, terdengar dua buah letusan senjata api. Mereka yang di warung kopi masih diam saja, tak terpancing. Suasana yang cukup terkendali. Tak ada apa apa. Hal biasa.

MUNGKIN yang paling diakrabi orang orang di sini adalah suara truk yang menjerit seperti sekaratku mendengarnya. Aku tak tahan tinggal di kotamu, please

Barangkali kelak kenangan tentangmu semisal kenangan tentang senja, sepotong bulan dan seratus kelelawar yang berebut awan. Sesuatu yang selalu keluar dari mulutmu. Sebuah kenangan yang hanya diuntai dari bibir lelaki yang membuatku selalu memiliki senja, sepotong bulan dan kelelawar. Sebuah dunia mimpi yang tenang dan menyenangkan. Kenangan itu akan terus berjalan seiring dengan bayang tubuhku yang terterpa neon di tepian jalan Tanjung Karang yang perlahan mengabur seperti Rex. Kenangan yang nantinya akan menjadi bagian redup kelopak mataku yang perlahan akan menurun seperti gelayut payudaraku yang menggelambir diam diam. Bahwa kenangan itu adalah untaian cinta dan hidup, rajutan kiisah bahagia dan nelangsa yang beterbangan seperti gelembung sabun di tangan kanak kanak. Meletup, plup, lalu hilang tak berjejak.

KENANGAN, hanya itu yang teringat akhirnya. Ya, hanya itu. Tak lebih.

Tapi aku mencemaskanmu. Sungguh

SENJA, sepotong bulan dan kelelawar yang tiba tiba menghilang. Aku menemukan tinggal dua ekor yang lewat, katamu. Rokok yang selalu kau putar putar membawa kecemasanmu perlahan. Ah, kenapa itu kau ucapkan. Barangkali perempuanmu itu tak akan pernah bertanya benarkah masih ada kelelawar yang terbang di muka beranda rumahmu seperti ceritamu dulu. Mungkin saja itu hanya kerinduan purbamu. Sebab nyatanya yang terbang dan menatapmu setiap senja adalah nyawa tetangga dan leluhurmu yang meregang oleh pertikaian yang tiada habis. Suara popor senapan seperti pesta Nyawoeng yang tumbuh di tiap tubuh. Meretas perlahan, membunuh rakyatmu satu satu. Tanah ini, Acehmu, rencongmu adalah sebuah kota dan desa yang membuatnya rindu untuk menemuimu. Sebuah kota dan desa yang menjelajahi kepalanya dengan harapan ada kenyamanan utuknya tinggal di sana. Sebuah kota dan desa yang tumbuh menakutkan di kepala setiap orang. Kenapa? Sebab nyawa tak ada harga di sini, nyawa tak bisa ditawar di sini. Juga sebab rasa takut yang tiba tiba oleh popor senapan yang mungkin akan memangsamu. Kulit wit tubuhmu yang membawanya ke ribuan tahun di masa silam. Juga kemungkinan hilangnya mimpi bercinta di padang rumput di ketinggian bukit tanpa sehelai kain melapis. Juga memendam tubuh di pasir pasir Pantai Sabang.

SUBCOMANDANTE Marcosku,

Barangkali kau juga akan hilang seperti kelelawar itu. Tapi menatap senja, sepotong bulan dan cericit kelelawar yang sayup masih kudengar di kejauhan ingatanku, aku berasa duduk bersamamu di beranda. Seperti saat ini, kedatanganku yang pertama di tanah ini, Acehmu. Barangkali kelak ketika aku tiba lagi di sini, aku hanya akan menjumpai kelelawar itu melagukan “Nyawoeng”, sebuah lagu yang biasa tersenandung dari bibirmu. Barangkali aku tak bisa lagi menjumpaimu.

TAK akan kumaafkan. Akan kunistakan sebagaimana Tiran yang membuat lara rakyatku Kumohon jangan pernah ceraikan aku dengan kata kata itu. Gata boh ate, sekali lagi sebelum akhirnya aku memejam, meresapi tanahmu, meresapi tubuhmu.

========================================
Pengirim : loper
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *