Aku tak tahu harus mulai dari mana dan memulainya dengan apa? Kucoba mengumpulkan kepingan hati yang berserakkan. Kucoba merangkaikan tangkai pikiran yang patah. Lalu merekatkannya. Aku tahu hasilnya tak mungkin sempurna. Tapi paling tidak, aku punya kekuatan untuk melanjutkan tulisan ini.
Bunga cinta ditanamkan di setiap taman hati manusia agar dapat berbagi dengan yang lainnya. Tapi mengapa cinta diciptakan bersamaan dengan kesalahan, ego, perpisahan? Terkadang semua ini merampas kebahagiaan cinta itu.
Kesalahan, mengapa harus ada kata ini. Mengapa harus diciptakan kesalahan, bukannya kebenaran saja? Bukankah kesalahan selalu merusak keindahan cinta? Tetapi kita harus bersyukur, karena penciptaan kesalahan di ikuti oleh maaf. Jadi kita masih mempunyai kesempatan untuk menggapai kebenaran hanya dengan kata maaf. Tapi apakah semudah itu, kesalahan berubah menjadi kebenaran hanya dengan kata maaf? Maaf bukanlah dewa yang bisa melakukan segalanya. Maaf harus tunduk pada ego. Dan karena keegoan maka maaf menjadi barang antik yang sangat mahal. Tidak semua insan bisa mendapatkannya, pun aku.
Kesalahanku terhadap cinta harus kubayar mahal dengan hilangnya cinta. Seorang maling, perampok, begal, bahkan pemerkosa sekalipun masih berhak mendapatkan maaf. Tapi tidak denganku. Aku tidak berhak mendapat maaf. Cinta telah murka. Dalam cinta mungkin tidak ada kata maaf bagi para pendosanya, termasuk aku. Aku telah melakukan kejahatan cinta sehingga tak ada pengadilan manapun yang mau mengadiliku. Satu kesalahan telah cukup untuk menghukumku, untuk kemudian di pancung di tiang perpisahan.
Cinta telah dikuasai oleh penguasa yang bernama ego. Erosi melanda bukit cinta dan menghanyutkan seluruh rasa, untuk kemudian membenamkannya di dasar lembah kebencian. Dengan ego, apa masih ada yang bisa melawan? Kemurahan hati Nya untuk memberikan maaf sekalipun, tak mampu memaksa ego untuk memberi maaf. Kemanakah keadilan, mengapa ia seakan lenyap bagai sisa ombak yeng mengendap ketika mencapai pantai. Bukankah kesalahan juga berhak mendapat keadilan dengan alasannya. Tapi lagi lagi berhadapan dengan ego. Mampukah kau meyakinkan ego dengan seribu satu alasanmu? Oh, aku tak mampu. Aku tak punya alasan sebanyak itu. Aku hanya punya satu alasan, aku khilaf. Apakah ego pernah mengenal khilaf?
Ketika ego tak mau menerima alasan, apakah aku harus membenci ego? Tidak Aku tidak berhak membenci, karena benci hanya milik ego. Ya, aku tahu itu, aku sadar itu. Aku justru akan semakin mencintai ego. Mungkin dengan ketulusan cinta, ego bisa melemah.
“Tapi kau harus ingat, ego bukan mahkluk lemah.”
“Sudahlah kau tak akan mampu melawan ego.”
“Tidak, sekali lagi tidak. Aku tak akan menyerah, aku percaya pada kekuatan cinta.”
Perpisahan. Ah, kata ini adalah kata yang paling kubenci. Setiap pencinta pasti menganggapnya sebagai sebuah momok. Semua pertemuan pasti mencoba menjauhkan diri dari perpisahan. Tapi bukankah hidup ini adalah permainan yang memiliki aturan mutlak, yang mengatur alur pertemuan dan perpisahan? Dan lagi lagi kita harus berhadapan dengan ego. Ego jua yang akan mempertemukan kalian dengan perpisahan. Mengapa ego selalu mengahalangi jalan kebahagiaan?
Apakah ego belum tahu akibat dari sebuah perpisahan? Atau ego sengaja acuh pada akibat itu. Ketahuilah ego, bahwa perpisahan yang kau ciptakan, membuat kesalahan semakin bersalah. Perpisahan hanya bisa merampas kebahagian. Perpisahan hanya menghentikan penciptaan kenangan indah. Perpisahan hanya bisa merenggangkan tali silaturrahmi di antara insan yang bercinta.
Tapi lagi lagi ego tidak kehilangan akal untuk mengelak. Ia mengatakan bahwa cinta tak selamanya memiliki. Ungkapan yang tak lebih merupakan upaya penguatan hati atas kegagalan untuk bersatu. Apakah wujud asli dari cinta? Apakah cinta harus berwujud kepemilikan? Mungkin tidak, lalu bagaimana memanifestasikan cinta tanpa memilikinya? Mengapa perpisahan datang ketika kesalahan ingin melebur bersama kebenaran dalam cawan maaf?
Ada pertanyaan untukmu ego. Apakah yang kau rasakan saat ini? Apa kau juga merasakan kesedihan? Kalau kau juga merasakan kesedihan dengan perpisahan ini, mengapa kau bangun tembok egomu untuk memisahkan kebahagiaan?
Bukankah sudah kukatakan tadi, bahwa aku bingung harus mulai dari mana dan dengan apa? Jadi mohon maaf kalau aku agak, atau sangat ngelantur. Tapi aku harap kalian bisa maklum, karena serpihan hati dan patahan tangkai pikiranku belum cukup kuat. Terkadang mereka berserakan kembali. Tentunya aku harus sangat hati hati untuk merangkaikannya lagi. Baiklah sebelum kalian kubuat menjadi bosan, izinkan aku sekali lagi untuk menyampaikan sesuatu.
“Aku tengah bersedih kawan. Kau tahu mengapa?”
“Ya, kau benar kawan. Aku berpisah dengan dia, orang yang paling kusayang. Kau tahu mengapa aku berpisah?”
“Ah, kau salah kali ini kawan, bukan dia, bukan dia yang salah, tapi aku yang salah.”
“Aku telah menodai cinta sucinya. Aku telah melakukan kejahatan cinta. Tapi aku sudah minta maaf. Entahlah, mungkin maaf hanya tinggal impian.”
“Apa Kau mengatakan dia egois?”
“Tidak, dia tidak egois, sayangku tidak jahat seperti ego itu.”
“Dia sangat baik, dia bahkan terlalu baik.”
“Hey, kuperingatkan kau sekali lagi, kawan. Jangan pernah kau berprasangka buruk tentang dia, tentang sayangku.”
Sudahlah kawan, aku tak mau berdebat lagi. Aku tengah bersedih karena perpisahan ini. Perpisahan ini telah mengambil banyak hal dariku. Perpisahan ini telah mengambil keceriannya, senyumnya, canda nakalnya, serta ciuman hangatnya. Perpisahan ini telah menjadikan tempat tempat yang pernah kami kunjungi, menjadi hanya tinggal kenangan. Perpisahan ini telah membuat taman indah hatiku menjadi tempat yang paling gersang dan kering kerontang. Perpisahan ini telah membuat tidur malamku hampa, tak dihiasi lagi mimpi indah tentangnya. Perpisahan ini telah membuat …, ah aku tidak tahu lagi.
“Aku rindu kawan. Aku rindu semuanya.”
“Sudah kawan, aku sudah memintanya. Tapi ia tidak memberikan kesempatan itu.”
“Apa? Kau suruh aku melupakannya?”
“Tidak, tidak akan pernah kawan.”
“Aku ingin kau membantuku kawan.”
“Bantu aku meyakinkannya akan cintaku.”
”Bantu dia mengubur semua masa lalu. katakan padanya bila hati selalu diselimuti bayang bayang masa lalu, maka cinta tak akan pernah ada. Cinta akan selalu di kalahkan oleh kebencian.”
Hari ini aku datang lagi. Aku datang untuk meminta tangkai tangkai bunga maafmu. Bila masih ada kesempatan, izinkanlah aku merangkainya menjadi sekeranjang bunga cinta yang indah. Akan kuletakkan di ruangan hatiku.
Aku juga telah mengatakan kepada semuanya. Pada malam, pada siang, pada batu, pada angin, pada hujan dan seluruh isi alam. Agar mereka mau menyampaikan permintaan maafku, bila mereka bertemu kamu.
“Akankah?”
Yogyakarta, 26 Oktober 2004
Deddy S. Tamorua
========================================
Pengirim : Deddy S. Tamorua
========================================