“Jikalau nyawaku terbawa desing pedang atau desau mesiu para pecandu angkara, kumohon semayamkanlah jasadku di selangkang tebing gunung (carilah yang letaknya tidak jauh dari eyrie eyrie) dengan siraman airmata burung burung. Tertanda, Sangaji Taparaga melipat kembali surat wasiat itu yang ditulis dengan hembusan nyawa.

Dipandangnya kaki langit kusam. Seekor burung gagak tembaga mengitari angkasa dengan nyanyian belasungkawa. Segerombolan awan kelabu di sebelah lirikan mata mematung sambil menyimak pergulatan maut sekerumunan awan kelabu.

Pedang pedang langit bertubrukan, melahirkan kilat kilat yang berserakan ke segala penjuru angin. Berkubik kubik darah bening terbuncah meriah, mendirus tanah sampai meruntuhkan kelopak kelopak padma.

“Sangaji, Sangaji, andai aku sanggup membuka lipatan sejarah dengan jemari batinku, nisacaya… Oh, seandainya sepasang sayap rinduku bisa segera tiba pada tujuh petala langit… Oh, seandainya…”

Lalu dia beranjak dari lempengan batu yaspis, berjalan melintasi kristal kristal serpihan ratna yang sesekali masih menghembuskan bau jejak gontai Sangaji. Bau jejak itulah yang menggiring naluri imajinatif Taparaga untuk semakin menemukan sebuah pencarian. Langkahnya mantap meski iramanya ringan.
Sangaji, Sangaji…

Pada zenith ziggurat di telapak horizon, Taparaga menghentikan ziarahnya. Di sekelilingnya tampak gugusan skyscraper yang sengaja memamerkan tanduk mereka.

Taparaga menghela nafasnya. Kemudian dia merendahkan tubuh letihnya, duduk
bersila merapatkan raga pada pangkuan bumi – yang bagi sepersekian kalangan tapabrata tempat itu dinamakan zuhud. Kedua tangannya menekuk dan bersidakep pada bidang dadanya – dada itu masih tertancap sebatang panah tertandanama
“Langen Kirana”.

Sebuah sejarah yang usianya baru beberapa edaran matahari dan terlipat dalam
benak Taparaga, sekarang terbentang lebar menyita mata. Rupa rupanya pertempuran
belum berakhir. Pertempuran masih kehausan darah. Pertempuran masih menuntut
nyawa. Mereka masih memperebutkan padang berjuta pohon di tengah dengus nafas
para kafilah, sahara sahara di sekitarnya menjelma hamparan pasir membara. Para
wirabuana masing masing kutub ego bertemu dengan berbakutembak, bakutebas,
bakutusuk, bakutikam. Prajurit prajurit seolah olah sesaji utama bagi santapan
lezat ujung ujung tombak. Para punggawa dua kutub ego nampaknya akan
menghabiskan putaran waktu dengan pertempuran sengit itu.

Sangaji, Sangaji, Sangaji…
Rapal mantera ajipancasona bergulir dan bergema. Bibir Taparaga menggeliat geliut dengan desau suara berirama dengungan asa. Disebutnya nama
Sangaji, diucapkannya ajipancasona.

Sangaji, Sangaji, Sangaji…
Bayang bayang batang cempaka berpindah sudut, makin memanjang, makin meluntur.
Taparaga masih tegar dan beku duduk bersila dengan sebilah belati suci terlena
di pinggang kirinya. Sebatang anak panah bersarang dalam dadanya – sebatang
cinta tertanda Langen Kirana. Samurai kesumat bergetar di hadapannya.

Sekerumunan awan bening turun di bumisunyi bumiimaji. Bergumul dan bergulung gulung dalam pusaran masa angin pesisir. Dari mujarad, berangsur menitis nirmana pada rupa raga…

“Lho, kamu ta, Kirana…”
“Ya, aku, Mas Tapa. Mas Sangaji telah tertawa lepas di Firdaus.”

Taparaga bergeming. Taparaga tidak segera 100% percaya. Sebab, baginya, kematian bukanlah solusi paling mujarab dalam menggarap permasalahan. Tetapi barangkali tidak demikian bagi Isroil yang mendapat wewenang atas akhir jalan nafas
Sangaji. Seperti yang pernah ditangisi mamandanya, bahwa Sangaji sangat
disayangi oleh Sang Khalik; Sangaji akan lebih berbahagia pabila tidak berlama diri dirajang dicincang oleh kemaksiatan manusia manusia durjana.

“Mengapa Mas memanggil ruh Sangaji?”
“Aku ingin menanyakan siapa siapa yang nekat membunuhnya, Kirana.”
“Untuk apa?”
“Balas dendam Balas dendam, Kirana. Darah harus dibayar darah. Nyawa harus
dibayar nyawa ”
“Siapakah yang membeli darah? Siapakah yang membeli nyawa? Atau, seperti juga
mimpi; apakah kita pernah membeli mimpi dengan alat pembayaran yang juga berupa
mimpi? Bukankah Mas membeli mimpi dengan tidur, bahkan membeli cinta dengan
sesuatu yang bukan cinta?”

“Waaaaaahh, sebuah analogi yang tendensius nih ”
Langen Kirana tersenyum. Langen Kirana tahu bahwa Taparaga mencintainya. Namun
Langen Kirana sengaja menanggapi Taparaga dengan senyum manis yang pernah
meluluhlantakkan banyak hati lelaki lajang. Lantas, raga Langen Kirana mulai samar samar dan akhirnya lenyap ditelan halimun keemasan. Taparaga memasukkan lipatan surat wasiat kematian itu dalam saku celana blue jeans nya.

Bumiimaji, 2003

Keterangan:

Selangkang tebing gunung adalah sebuah tempat sepi dan keramat, dan merupakan
batas kesaktian tingkat tinggi dalam adat masyarakat Segaragetih.
Airmata elang samudera adalah bagian utama (dipercaya sebagai air suci;
burung burung dipercaya sebagai titisan keluarga dewa) untuk menyucikan jasad
seorang (biasanya soleh; berilmu tinggi; bani aristokrayah; kalangan persona
grata), supaya bisa mengantarkan arwah menuju puncak kebahagiaan hidup abadi.

========================================
Pengirim : noporogo
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *