Dinding ruang tamu rumah kakeknya Oji terpampang sebilah pedang melintang sepanjang satu meter. Bersarungkan kulit buaya, pedang itu memamerkan kegagahan dan dominasinya pada bidang dinding. Sementara hiasan hiasan lainnya, misalnya panah, tombak, gading berukir atau tanduk rusa, seakan kalah pamor.

Oji terpana. Ada kekuatan gaib yang telah menancapkan pedang itu pada matanya. Serta merta paras pedang itu menebas perhatiannya pada hiasan dinding lainnya.

“Warisan turun temurun, dari buyut buyutmu. Ini juga andalan Kakek ketika muda seusia kamu,” begitu kata mendiang kakeknya dulu.

Kakeknya memang bekas pejuang, gerilyawan. Dari jaman penjajahan Belanda, Jepang, agresi Belanda hingga pemberontakan kelompok anti Indonesia, kakeknya tak pernah lepas dari pedang itu. Pedang itu selalu setia mewujudkan kehendak kakeknya. Usai semua pertempuran serta huru hara masa lalu, pedang itu pun dipensiunkan, dan beralih tugas dan tempat. Setahun sekali, yakni malam 1 Suro, diturunkan dari singgasananya. Dimandikan dengan bunga bunga dan diasapi dengan kemenyan.

Dalam benak Oji, pedang itu seakan sedang menawarkan sesuatu. Terus dan terus benaknya tertancap pada paras pedang itu. Pedang itu pun berusaha menembus kepala Oji untuk menguras isi pikirannya lantas menguasainya, dan untuk menorehkan kesan pada lempengan jiwa mudanya dengan segala kegarangannya.

“Pedang yang perkasa, sangat menawan,” pujinya.

Ia ingat sang kakek pernah bilang, “Kembang adalah makanannya. Kemenyan adalah napasnya. Dan, harus ada minumannya pula, yakni darah. Darah inilah yang membuat dia tetap segar, gagah, garang.”

Kayak apa sih pedang warisan ini? Oji penasaran. Pedang bersarung kulit buaya ini seakan menyimpan suatu kekuatan yang… ehm… menjanjikan.

Sekonyong konyong pula terdengar bisikan gaib, “Inilah aku, kawan barumu. Kau tak�kan bisa berbuat apa apa kalau cuma menontoni sekujur bajuku.”

Pesona dan bisikan gaib pedang itu telah menyihir Oji. Ia langsung maju mendekat ke tempat pedang itu tersampir. Lalu matanya menoleh ke kanan kiri, mencari kursi. Tidak terlalu sulit untuk mendapatkan kursi kecil di ruangan itu.

“Hap ” akhirnya Oji berhasil menurunkan pedang itu dari gantungannya. “Busyet, beratnya Bagaimana dulu kakek bisa sebegitu ringannya meletakkannya di situ ya.”

Baru kali ini Oji memegang pedang berbobot tujuh setengah kilogram itu. Namun Oji lebih tertarik pada pesonanya, bukan ukuran atau beratnya. Ditimbang timbangnya sejenak. Ia memperhatikan sarung kulit buayanya, memperhatikan gagangnya dan setiap milimeter ukuran pedang itu.

Beberapa detik selanjutnya ia tertarik untuk mengeluarkan sang pedang dari sarungnya. Tangannya bergerak hati hati. Dan, pedang pun terhunus dari sarung. Seketika kilauan baja menyambar nyambar mukanya dan permukaan dinding ruangan.

“Wah, hebat ” serunya takjub.

Matanya mengamati sekujur benda tajam berkilau itu dengan seksama. Tak henti hentinya ia berdecak kagum. Ya, kalau sebatas ditonton, pedang itu jelas mengalami perubahan fungsi. Barang maut bukan suatu dekorasi yang indah, tentunya.

Wujud naga terukir pada bidang kemilau baja itu. Buntut naga menghadap genggaman, sementara kepalanya mengarah pada ujung lancip pedang. Bagus sekali. Ukirannya sangat kontras dengan kemilau pedang yang menyambar nyambar. Warnanya hitam. Hitam dari sisa sisa darah yang tak bisa terkelupas.

“Akulah yang menghuni pedang ini. Akulah yang menghidupkan pedang ini. Akulah yang membuat pedang ini garang,” bisik sang naga ketika Oji merabai ukiran tersebut. Lidah api sang naga berusaha menjilat jilat bara dalam gelora muda Oji.

Pantesan, guman Oji.

Tepat ketika ujung ujung jemarinya menyentuh lekak lekuk ukiran tersebut, suatu kekuatan langsung merasuki Oji. Oji tidak tahu bahwa ujung ujung jemari, entah tangan maupun kaki adalah pintu keluar masuk hal hal yang tak kasad mata.

Setelah berhasil sepenuhnya merasuki jiwa muda Oji, lantas pedang itu berbisik, “Aku adalah lambang kepahlawanan semenjak membunuh telah dihalalkan. Kini aku pun siap sedia membantumu menuntaskan segala pertempuran hidupmu.”

“Boleh juga nih ”

“Tunggu apa lagi? Ayolah, aku haus. Sudah terlalu lama mereka menggantungku di dinding kusam sana. Mereka orang orang bodoh. Mereka pikir aku ini semacam porselin atau lukisan untuk mendandani dinding. Kebodohan itu membuat aku semakin haus. Tapi mereka tetap bodoh, tak memberiku minuman kesukaanku, hak mutlakku.”

Ia mengangguk angguk, seolah mengerti bahasa maut pedang itu.

Ada magnet yang begitu kuat, yang secara paksa menarik nafsu kebiadaban keluar dari kuburan nuraninya. Dendamnya semakin mencuat, memamerkan tanduk murkanya. Nilai nilai, norma norma dan belas kasihan berangsur tergusur bahkan gugur.

“Darah akan menjarah darah,” tegur nuraninya. “Pedang akan menghadang pedang. Kekerasan akan menetaskan kekerasan pula.”

“Tenang, Ji. Hati nuranimu itu takkan pernah sanggup menyelesaikan masalahmu,� serobot sang pedang. �Bahkan ketika perasaanmu tertusuk dan hatimu terluka, hati nurani hanya menyaksikan seraya menyanyikan lagu lagu penghiburan. Sekadar lagu penghiburan. Tidak lebih. Padahal, masalahmu tak jua terselesaikan.”

Oji mengangguk angguk. Pikirannya berada diantara debat nurani dengan pedang. Ia bosan pada buaian hiburan. Ia bosan pada kata kata madu belaka.

“Nurani hanya bisa menyanyi tanpa pernah berani menjamin ketentramanmu sendiri atas sikap orang orang terhadap perasaanmu. Sedangkan pada diriku, kau bisa pakai untuk memproklamirkan dirimu kepada orang orang, bahwa dirimu ada dan adalah manusia, bukan patung kayu lapuk yang bisa diinjak, diejek dan dienyahkan begitu saja.”

Nurani tak tinggal diam. “Oji, ingat, pedang bukanlah alat yang tulus mengasihimu. Ia hanya akan menggodamu, tapi kemudian justru menjerumuskanmu ke dalam penyesalan yang semakin dalam. Pedang akan mengejarmu sampai ke liang lahat, Ji. Percayalah, aku tak�kan pernah patut mendustaimu,” tutur nuraninya.

Oji tak peduli. Baginya, pedang ini tampaknya lebih menjanjikan, punya kekuatan untuk menunaikan balas dendamku hingga tuntas tanpa bekas. Ia tak butuh keraguan.

“Hei, Kawanku, Oji, coba simak baik baik. Nuranimu hanya akan membuat dirimu menjadi bimbang, banci, kehilangan nyali dan tidak mampu berbuat apa apa terhadap mereka mereka yang melukaimu. Kalau kau mau memanfaatkan aku, pasti kelak kau dapatkan hakekat kejantanan itu. Aku bisa membereskan semua. Pikirkan yang ada di hadapanmu, jangan memikirkan hal hal yang tak terjangkau olehmu. Keresahan hari ini, cukuplah untuk hari ini saja. Selesaikanlah secepatnya, agar keresahan itu sirna dan berganti kelegaan yang tak terkatakan,” rayu pedang itu.

Oji terus memandangi sekujur tubuh pedang itu sambil membiarkan pikirannya bercumbu dengan masa lalu, masa depan, jati diri kepriaan dan martabat kemanusiaannya.

Pedang dan luka hati tersebut pun mengingatkannya pada peristiwa penyabetan pedang atas dirinya yang dilakukan oleh seorang simpatisan sebuah partai yang sedang berpawai sewaktu menjelang PEMILU. Lengannya robek sepanjang 20 centimeter. Ketika itu tak ada siapapun berani menolong atau mengejar pelaku penyabetan. Sebab, disamping sebagian besar rombongan selalu mengacung acungkan senjata tajam, juga para simpatisan tersebut telah membekali diri mereka dengan ilmu kebal.

A ha Ilmu kebal Aku harus segera berlatih, guman Oji.

Ia teringat, masih ada beberapa orang lagi yang selalu semena mena terhadapnya. Ia merasa bahwa ketaklukannya pada nurani seringkali justru memperpuruk dirinya, laksana impotensi mental. Ia merasa dirinya dianggap seorang pengecut yang mengkerut di sudut ketakutan.

Saat itu pula nurani Oji terbungkam. Yang tengah menguasai hatinya adalah sakit dan pahit. Sakit dan pahit telah bertahta, norma dan belas kasihan pun tercampakkan.

“Aku harus tunjukkan siapa diriku Bedebah bedebah itu harus takluk dan menyembah nyembah dalam kubangan darah mereka. Biarpun mereka minta ampun sampai sampai nangis darah dan nanah, akan kuantarkan mereka ke gerbang akhirat ” umpat Oji dengan nada geram. Ingin sekali ia segera mendatangi dan menghabisi satu per satu orang yang dianggapnya telah melukai hatinya, sekecil apapun persoalannya.

“Saatnya kini kau buktikan kehandalanku,” bisik pedang itu.

“Ya, aku coba dulu. Bersiaplah,” kata Oji.

Kemudian tangan Oji mulai meliuk liukkan pedang itu di udara dan menggerakkannya dengan perlahan seolah gerak lambat suatu pertarungan. Selanjutnya berangsur cepat dan kian cepat. Pedang yang semula berbeban cukup berat itu pun berangsur menjadi enteng, semakin enteng dan terasa menyatu dengan tangannya. Kilauan kilauan yang anggun tapi sadis kian merasuki akal sehatnya.

Ia terus menari narikan pedang itu. Ia menikmatinya. Pedang itu sungguh sungguh telah merasukinya serta menyalurkan kekuatan gaibnya. Sabetannya berkelebat cepat, menyambar kemana mana. Dalam kepalanya hanya berisi orang orang yang pernah melukai hatinya, menyengsarakan hidupnya. Dan, keinginan untuk membalas bahkan lebih dari sekadar meneror pun perlahan lahan bangkit dari kuburan masa lalunya.

Tiba tiba suara keras menerpa dari arah belakang Oji…

“Hei Kalau nyapu, yang bener, ya Jangan berlagak kayak pendekar film kung fu Apa kau belum puas dihukum gara gara menganiaya kakekmu sendiri, hah ” bentak seorang petugas yang sedang mengawasi kegiatan kebersihan di penjara itu.

babarsarijokja, maret 2002

========================================
Pengirim : agts wahyono
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *