Dik Ali (Ali Thamrin, angkatan 3) pernah cerita ke saya, mengenai sulitnya mengumpulkan teman teman yang berada di daerah [Surabaya dll] untuk diajak dalam acara reuni kelas. Padahal, acaranya juga di daerah. Menurut Ali, itu terjadi karena ada perasaan minder dari teman teman di daerah bila bertemu dengan teman teman dari [yang bekerja di] Jakarta.
Lho, kok bisa?
Ya, memang begitu kenyataannya. Di samping halangan sakit, biasanya sibuk karena rutinitas pekerjaan juga dijadikan sebagai alasan. Tapi minder atau tak percaya diri, menurut Ali merupakan alasan yang kerapkali keluar.
Kenapa begitu?
Menurut saya, itu bisa saja terjadi, bila seandainya harta dijadikan sebagai parameter [tolak ukur] dalam berteman. Ada image, seolah olah yang bekerja di Jakarta itu glamour, hidup penuh dengan kesuksesan dsb. Padahal sama saja.
Contoh kecilnya saja, saya misalnya. Sampai kini pun tidak memiliki properti yang berarti, asset pribadi yang berlebih, atau bahkan [boro boro] mobil pribadi…:) Padahal kerja sudah lama. Justru teman teman di daerah sudah punya rumah di Sidoarjo, misalnya. Jadi, kenapa harus minder?
Semua sama saja. Sederhana saja berpikir: Tuhan menilai akhlak. Menilai bermanfaat atau tidaknya manusia terhadap lingkungan di sekitarnya, dan bukan dari kekayaannya.
Kalau alasannya karena “gengsi” pekerjaan. Banyak macam ragam pekerjaan yang bisa memberikan pendapatan tidak hanya berkutat pada perusahaan yang bergerak di bidang telekomunikasi belaka.
Ada pabrik, berniaga/berdagang, wiraswasta, kerja di level wacana atau massa basis (LSM, Lembaga Swadaya Masyarakat) dsb. Belum tentu, kerja di perusahaan telekomunikasi gajinya bisa lebih besar dari seorang office boy di sebuah LSM. Karena saya pernah tahu itu.
Berpijak pada Masa Lalu
Seharusnya, bila ingin ber reuni, perasaan egaliter [senasib sepenanggungan], seperti yang pernah kita rasakan ketika hidup bersama di (m)Bareng atau Sawojajar, yang kita kedepankan. Itu yang harus kita pegang dan gunakan sebagai parameter dalam menjaga abadinya sebuah hubungan. Bukan parameter harta atau kekayaan.
Harus ditanamkan pula pemahaman, bahwa; pertama, kita dulu berangkat dari segala sesuatu yang hampir sama. Sama sama merasakan hidup prihatin.
Sama sama mengalami hidup “miskin”, sama sama mengkonsumsi masakan Bu Tajab, Bu Boneng, lihat film 300 an perak di Kelud dsb.
Kedua, harta itu titipan Tuhan. Ada atau tiada, [harta] itu hanyalah sebuah keniscayaan. Hanya waktu dan kesempatanlah yang membedakan. Ada waktu yang dibingkai dalam batas “kemarin”, “sekarang”, dan hari “esok” yang masih terbentang lapang. Hidup masih panjang, dan rejeki menjadi “otoritas mutlak” Tuhan. Dia lah yang menentukan segalanya. Dunia adalah fana.
Jadi, kalau hanya persoalan beda harta, kenapa harus takut untuk ber reuni?
Bukankah demikian, kawan?
[c] aGus John al Lamongany, 8 Maret 2002
========================================
Pengirim : Gus John
========================================