Rindu Nabi

Oct 22, 2003

“Ya kiai, bagaimana caranya, aku bisa bertemu dengan junjunganku, Muhammad Rasulullah?” tanyaku dengan penuh kebimbangan. Sang kiai sepuh itu pun terdiam. Tunduk terpekur. Mungkin dia sedang berpikir.

Hari ini aku bimbang, memang bimbang. Bagaimana tidak bimbang, ketika karunia cinta datang membalut jiwaku, tapi tak boleh ada perasaan. Sedikitpun Ya, bahkan setitik embun pun tidak boleh Aku harus menahannya.
Aku pasrah, bertawakal. Mungkin ini cinta sejatiku. Karenanya, secara imaginer aku datang ke dalam forum pengajian (alm) Mbah Kiai Maksum, seorang
kiai “khos” di Magelang yang telah meninggal hampir seabad yang lalu. Dalam forum pengajian itulah, kucoba untuk tuangkan segala keresahan jiwa ini.

Mendengar kegelisahanku, sang kiai lama termenung. Setelah lama berpikir, sang kiai itupun mengatakan, “Hai, nak, berlakulah yang baik. Beramallah yang banyak. Dekatkanlah dirimu kepada Nya. Kerjakanlah perintah Nya, dan
jauhilah segala larangan Nya. Insya Allah, kau akan bisa menjumpai Rasulullah, kekasihmu yang kau maksud itu.”

Hanya beberapa kalimat inti dari pesan kiai itu. Tapi rasanya begitu dalam, menyisakan pergulatan pemikiran dalam benakku. Bagaimana aku bisa? Karena aku tidaklah sealim seperti yang orang kira
selama ini. Tapi, aku juga bukanlah orang hina seperti yang mereka sangka. Karena alim tidaknya diriku, itu urasan dengan Tuhanku. Bukan dengan
orang perorang atau mereka. Orang dan mereka tak punya hak menilaiku, apakah imanku tertutup ataukah terbuka?

Aku biarkan pergulatan yang berkecamuk dalam rongga dada itu. Kuhentikan lamunanku, ketika sang kiai memandangku dengan atapan yang dalam. Bercerita kepadaku tentang perjalanan Syekh Yusuf, seorang wali agung dari Gowa,
Makassar di pertengahan abad 17, ketika sang wali itu sangat ingin berjumpa dengan Nabi.

Menurut Mbah Maksum, untuk bisa menemui Rasulullah, Syekh Yusuf harus pergi ke Mekkah. Dalam perjalanannya, ia menuai ujian dan cobaan yang maha berat. Kapal yang ia tumpangi terguncang badai dahsyat. Syekh Yusuf pun harus
ditenggelamkan ke laut, karena dianggap sebagai pembawa sial atas datangnya badai itu.

Ia juga diuji oleh Nabi Khidzir. Syekh Yusuf harus membiarkan kakinya dijadikan sebagai bantal oleh Nabi Khidizir selama sehari semalam lamanya,
hingga Nabi Khidzir mati. Mayat orang tua, yang tak lain jelmaan Nabi Khidzir itu perutnya mulai membesar, berulat dan sangat busuk baunya.
Ulatnya sebesar kelingking orang dewasa. Meloncatlah ulat itu ke wajah Yusuf. Ia hanya bisa mengucapkan, “La ilaha illallaah. Muhammadun
Rasulullah”. Keadaan seperti itu berlangsung tujuh hari lamanya. Syekh Yusuf melakoninya dengan sabar dan tabah.

Syekh Yusuf juga pernah diusir penjaga pintu masjid di Makkah, hanya karena ia makmum yang datangnya terlambat yang berasal bukan dari tanah Arab. Ia pun marah. Dimiringkanlah songkoknya ke kanan. Dan, atas kehendak Allah,
miringlah kabah. Berita ini yang menggemparkan dunia Arab. Sang Khalifah pun mengutus dutanya untuk menjemput Syekh Yusuf. Atas permintaan
khalifah, Syekh Yusuf diminta menjadi khatib Jumat di masjid Makkah. Nama Yusuf pun
makin kesohor ke seantero jazirah Arab.

Suatu hari, Syekh Yusuf berkunjung ke rumah Imam Syafii berniat hendak menimba ilmu (berguru). Sampai di sana, berkatalah Imam Syafii, “Wahai Yusuf, apa kau kunjungi sehingga datang ke sini?
Berkatalah Syekh Yusuf, “Saya ingin minta berkat dari Tuan.”
“Wahai Yusuf, tidak dapat lagi saya kau mintai berkat, sebab sudah ada padamu semua berkat Muhammad. Baiklah engkau pergi ke Imam Maliki,” kata Imam Syafii menyarankan.

Pergilah Syekh Yusuf ke rumah Imam Maliki. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Imam Syafii, Imam Maliki lalu menyarankan agar Yusuf bertemu dengan Imam Hanbali. Begitupun Imam Hanbali juga menyarankan agar Yusuf menemui Imam Hanafi.

Sesampai di rumah Imam Hanafi, beliau menyarankan agar Yusuf menemui dan
mencari wali yang empat puluh. “Telah 225 tahun meninggalnya,” kata Imam Hanafi, “dialah yang dapat memberi engkau berkat.” Maka mohon dirilah Yusuf.
Ia berjalan siang malam, naik gunung turun gunung. Setelah 47 hari berjalan kaki siang malam, bertemulah dia dengan wali empat puluh di atas puncak Gunung Safa. Berkatalah wali empat puluh, “Wahai Yusuf, apalah yang dapat saya berikan kepadamu, saya kira semuanya sudah ada padamu. Kalau engkau mau, pergilah kepada guru wali yang bernama Abi Yazidul Bustani. Telah 500
tahun ia meninggalkan dunia ini.” Pergilah kemudian Yusuf ke wali itu. Atas rekomendasinya, Yusuf disarankan untuk menemui Syekh Abdul Qadir Jaelani, rajanya para wali.

Bersama raja para wali itulah, Syekh Yusuf mengalami gemblengan laku sufi yang agung. Segala ujian dan cobaan ia lakoni dengan tabah. Kedua matanya pun ia ikhlaskan untuk dicongkel sebagai ganti setitik api yang ingin ia persembahkan pada gurunya, Syekh Abdul Qadir Jaelani. Lelaku sufi Syekh Yusuf tidak sia sia. Berkatalah Syekh Abdul Qadir Jaelani, “Wahai Yusuf, saya sampaikan kepadamu bahwa semua wali dan ahli tidak ada lagi yang lebih tinggi daripadamu. Tidak ada juga yang lebih mulia darimu. Engkaulah yang paling dekat pada Rasulullah. Saya sampaikan kepadamu bahwa semua murid saya, semua wali, paling tinggi pencapaiannya kalau duduk (menumpang) di
atas kaki saya atau sampai lutut saya. Tetapi engkau Yusuf, engkau duduk di kedua selangkaku mencelapak kepalaku. Namun, barulah sempurna kesufianmu kalau engkau pergi mencari makam Rasulullah.”

Pergilah Yusuf mencari makam Nabi. Ketika berhasil menemukannya, ia harus melewati 7 lapisan penjagaan (dari perspektif secara ghaib). Di pintu yang ke tujuh, Yusuf tak bisa berkata apa apa. Ingatannya seperti ter riset. Tiga hari tiga malam dia terpaku di pintu itu. Dan baru pada hari ke 4, akhirnya ia diperbolehkan masuk ke makam Nabi. Terpekurlah ia di sana. Ia melihat berbagai macam keanehan. Seekor ular besar menggigit lehernya. Ular itu kemudian hilang, muncullah naga dan menggigit kepalanya. Muncul kemudian
lipan besar dan sangat hitam menggigit selangkanya. Lalu muncul kalajengking
besar datang menggigit pinggangnya. Tapi Yusuf tak bergeming.

Berkat ketulusan jiwanya itu, maka menyapalah Rasulullah, “Wahai Yusuf, engkau
telah datang dari Imam madzhab yang empat, wali yang empat puluh, guru wali, raja wali hingga sampai kepadaku kini. Apalah yang akan saya beritahukan padamu, apa juga yang akan saya ajarkan kepadamu. Saya kira sudah sempurna
kesufianmu dan kewalianmu, engkau jugalah yang bernama orang yang selamat di dunia dan akherat. Yang saya sampaikan dan ajarkan kepadamu hanyalah yang dikatakan orang berilmu, kebingungan dan takjub. Saya sendirilah yang
menjelaskan kepadamu, wahai Yusuf. Andaikan masih ada yang bernama nabi dijadikan oleh Allah Taala, engkaulah yang dapat dinamai nabi. Tetapi
sekali kali tidak boleh lagi. Maka saya namai engkau, Qutburrabbani wal arifinassamdani, dan saya namai juga engkau orang yang selamat di dunia dan akherat. Namun demikian, saya anjurkan juga wahai Yusuf supaya kau pergi mengunjungi Qasmussiri yang sudah 180 tahun meninggalnya.”

Pergilah Yusuf menemui Qasmussiri. Lagi lagi ia harus menuai ujian berat. Iblis menjelma Nabi ingin menyesatkannya. Tapi Yusuf tak bergeming. Hingga sampailah dia di pintu surga, karena sukses melewati semua pintu ujian. Bertemulah lagi ia dengan Nabi. Nabi menyarankan agar Yusuf segera kembali ke dunia. Tapi Yusuf menolaknya. Maka murkalah Nabi. Beliau kemudian memanggil penjaga neraka agar membuka sedikit pintu neraka agar diperlihatkan ke Yusuf. Akhirnya Yusuf insyaf. Ia pun bersedia kembali ke dunia. Berpeganglah dia di jubah Nabi. Dan Nabi mengantarnya hingga ke bumi.
Setelah sadar, Yusuf menyadari tubuhnya telah berada di Mekkah.

Begitulah, hanya demi ingin bertemu Kanjeng Nabi, Syekh Yusuf harus melewati orang orang alim terlebih dahulu, untuk meminta berkat dan restu. Dan juga menghadapi ujian dan cobaan yang begitu berat.

Cerita Mbah Maksum itupun berhenti. Kembali nurani bergemuruh dalam jiwaku. Menyindir nyindir prilaku diri. Membuka segala kelemahan, kehinaan, kenaifan, kebobrokan yang ada dalam diriku. “Bagaimana aku bisa berjumpa dengan kekasihku, Muhammad?” gumamku.
Hmmm, aku jadi teringat formalitas beragama yang kaku. Basa basi dalam bertakwa yang palsu. Birokrasi ibadah yang ruwet. Karena mereka terbukti bagaikan mesin mesin pembunuh, yang bisa datang setiap waktu. Aku takut mereka mencengkeramku. Membuatku tak berdaya, menjadi orang yang kaku.

Kering tak berspiritual. Tak memiliki keseimbangan antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial. Menjadi orang yang linier, monolitik dalam
berpandangan agama. Kembali kumenerawang. Aku merasa hina. Tak layak bertemu Kanjeng Nabi. Nuraniku pun mulai mengendur. Harapan ingin berjuma Kanjeng Nabi akhirnya lambat laun mulai surut.

Duh, Gusti Ingkang Maha Dumadi
Kuserahkan hidup dan matiku dalam kehendak Mu. Engkau yang punya otoritas mutlak untuk memutuskan, apakah aku beriman ataukah tidak. Bukan orang perorang atau mereka. Dan hanya Engkau lah yang punya kuasa, yang punya ijin seseorang untuk bisa ataukah tidak berjumpa dengan Kanjeng Nabinya.

Cinta zonder perasaan. Kau minta aku kubur perasaan hingga tiba masanya. Tapi kali ini aku kangen kekasihku, Kanjeng Nabi Muhammad Rasululllah SAW. Apakah harus kubuang perasaanku? Sungguh berat rasanya. Bisakah cinta
hidup tanpa perasaaan? Wallahualam bia ash showab.

© Gus John, 11/8/03

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *