Ratmi mengitari gedung restoran siap saji yang menjual makanan asing itu,
mencari cari tempat yang strategis untuk mengamati ke dalam dari tempatnya
berdiri.
“Mana yah satpam tadi…”. gumam Ratmi pada diri sendiri, memegangi teralis pagar yang memisahkan halaman restoran itu dengan jalanan umum. Barusaja kena semprot satpam yang tak senang dengan keberadaannya. Ratmi menggenggam erat selembar uang sepuluh ribuan yang sudah disiapkannya.
Setelah dihadang satpam yang tak memperbolehkannya masuk Ratmi mendapat ide untuk menunjukkan pada satpam bahwa dia datang sebagai pembeli, seperti halnya orang orang necis yang berada di dalam ruangan kaca itu. Bulan puasa, mujur bagi Ratmi. Walaupun jumlah laron laron, istilah yang didengarnya untuk pengemis kota, semakin bengkak, tapi
dia masih ketiban untung.
Ratmi tersenyum senang, menepuk kantongan uang yang dikumpulkan untuk berlebaran dengan anaknya. Kemarin sebuah mobil bagus berwarna
hitam mengkilap berhenti di perempatan jalan dan membagi bagikan lembar lima ribari balik pintu mobil. Ratmi menerimanya tergesa gesa takut didahului laron laron lain. Sesuatu yang hangat menyentuhnya dari balik kertas coklat itu.
Tadinya dia pikir uang dimasukkan kedalam kertas coklat tersebut. Tetapi setelah diperiksa ternyata isinya sesuatu yang berbau sangat sedap yang dibungkus lagi oleh kertas tipis berwarna biru. Hati hati Ratmi membukanya dan tampaklah roti
bundar dengan daging didalamnya. Oh, ini yang namanya burger yah? Dia pernah dengar makanan asing ini ketika pertama kali kenal dengan ruangan kaca tempat makan itu, menonton orang orang, seperti dalam kolam ikan, sedang makan, dan
menunggu di luar pagar berharap pemberian dari orang orang yang sudah kenyang itu.
Tetapi baru kali itulah Ratmi dapat memegang, menciumi baunya dan mencicipi makanan asing yang selama ini ditontoninya saja. Ratmi mencuil sedikit untuk dirinya. Hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Roti daging burger itu
dibawanya pulang ke kampung untuk oleh oleh buat Asih. Dia menjadi buah bibir di
kampun harap siapa tahu kebagian pula.
Tetapi kemudian berhenti karena Asih tiba tiba
menangis berteriak memanggil ibunya sambil mengacung acungkan sesuatu. Ratmi mendekat dan mengambil sesuatu tadi dari tangan Asih. Ratmi memperhatikan yang ada ditangannya, sesuatu berwarna hijau, dan menggigitnya hati hati.
Jangan jangan pedas rasanya. Anaknya tak suka.
Tapi ternyata sangat kecut seperti belimbing muda. Ratmi bergidik sambil meringis, “Iiih… kecut…”.Anak anak tertawa melihat tingkah Ratmi termasuk Asih. Dibuangnya makanan kecut keluar pintu dan dia balik menemui tamu tamunya. “Asih dikasih makan apa yah?” tanya salah seorang tamunya. “Ohh… oleh oleh dari kota, roti
daging ….” katanya tersenyum malu malu. “Maapin yah nggak bisa bagi bagi. Cuman dapat sedikit…” sambungnya pula. “Ohhh… itu yang ada kiju, roti
bungkus kertas?” kata tamunya lagi, memperlihatkan dirinya juga tahu banyak hal.
Tamu tamu dewasanya ini ikut asyik memandangi Asih yang sedang meremas remas daging keriting itu, memasukkan ke mulutnnggenggam uang puluhan ribu, tetapi jika memperoleh sepuluh ribuan seperti perempuan di depannya ini, akan
dipamer pamerkannya kepada orang orang, tetangga tetangga atau siapa saja yang
bertegur sapa dengannya. Hatinya tercekat.
Pernah suatu kali ibunya pulang dengan lembaran sepuluh ribu. Uang itu tak dibelanjakan, tetapi digenggamnya saja sambil dipandang pandang di depan pintu gubug mereka. “Mak lapar Mak..”
rengeknya yang saat itu masih bocah. Ibunya seolah tak mendengar. Dia mulai mengeraskan rengekannya, dan berguling guling untuk menarik perhatian ibunya.
Tetapi ibunya tak peduli malah mendorongnya ke pinggir. Perutnya saat itu terasa panas dan kembung. Dari tadi dia hanya meneguk minum saja untuk mengusir rasa lapar. Karena tak tahan dengan perutnya yang sakit dia menggigit keras keras pundak ibunya. Teriakan ibunya yang terkejut dan kesakitan mengagetkannya.
Tepisan keras ibunya untuk mengusir keterkejutan dan rasa nyeri menyebabkan tubuh kecilnya terlempar membentur lantai. Tak begitu keras memang, ng kayak anjing buat menyenangkan hati majikan, pikirnya sambil merengut.
Beberapa pengunjung necis menoleh keheranan kepada mereka. Satpam merasa tak enak dan mundur kembali ke rumah rumahannya, memasang tampang seram ke arah
Ratmi. Tapi mujur bagi Ratmi. Seorang petugas kebersihan restoran sedang berjalan keluar mengurus sampah. “Mang, maapin mang, boleh yah mintain tolong saya… ” sapa Ratmi nekat.
Si petugas kebersihan itu seorang lelaki muda
bertubuh kecil, berkulit terang, bermata sayu dengan sorotnya yang menunjukkan
kelembutan hati menoleh sekali kepadanya dan kembali mengurusi pekerjaannya
tanpa berkata apa apa. “Mang… maapin, pengen minta tolong beliin burger, ini
uangnya…” katanya lagi berharap sambil menyorongkan uang kertasnya kepada
lelaki petugas itu.
Lelaki itu memandangnya sekali lagi dan melihat pula uang sepuluh ribuan yang disodorkan. Dia jatuh iba. Istrinya saat ini sedang hamil
anak pertama mereka dan ngidam hamburger, walaupun cuman baunya. Dia pernah
membawa hamburger pulang untukk memberikan ruangan luas kepadanya. Kadang kadang
ujung pelnya hampir mengenai kaki seorang pengunjung dengan sepatu bagusnya.
Jika demikian dia menghentikan pelnya, memberikan kesempatan kepada sepatu bagus
itu untuk menyingkir dulu. Kadang kadang pemilik sepatu bagus tersebut dengan
sopan memindahkan kakinya, tetapi ada saja anak nakal yang menginjak ujung
pelnya dengan sengaja kemudian berlarian sambil tertawa tawa.
Ratmi masih memperhatikan lelaki itu bergerak kekiri kekanan tiada henti. Apa dia lupa yah?
pikirnya cemas. Tiba tiba dilihatnya lelaki yang sedang mengepel itu menoleh kebelakang, ternyata perempuan muda yang tadi diajaknya bicara memanggilnya sambil mengacungkan kertas bungkus coklat. Ratmi merasa lega. Kertas tersebut
mirip dengan yang tahun lalu. Tadinya dia masih simpan kertas bungkus coklat itu
untuk tempat sayur.
Tapi sekarang sudah robek robek karena basah dan sudah dibuangnya. Lelaki itu menyenderkan pelnya dan bergegas keluar sambil matanya
mencari cari. “Disini Mang…” teriak Ratmi
k anaknya, kedua orangtuanya. Bayangan orang orang yang dikasihinya melintas lintas di depannya. Setengah kabur tidak tahu karena matanya berair atau kepalanya yang pening luar biasa dia melihat seorang berseragam coklat
sambil menggenggam radio berantene tak jauh berdiri di depannya. Seorang lainnya
berbaju putih tampak berdiri di sebelahnya. Mereka seperti asyik mendiskusikan sesuatu tapi tak satupun yang melihat kepadanya. Di belakang mereka terlihat ada tali kuning berkeliling. Dia pernah lihat tali kuning seperti itu di kampung
tetangga, saat ada yang mati tercemplung sumur. Itu tali polisi. Lelaki dengan radio itu berbicara pada radionya, tak lama kemudian serombongan orang dengan tandu kelihatan berlarian tapi hanya melewatinya. “Pak… tolong saya pak,
tolong saya…kasihan saya…” Ratmi bergumam lemah. Tetapi orang orang tetap
saja lalu lalang di depannya tanpa melihat kepadanya.
Kelihatan sangat sibuk luar biasa. Ratmi hanya bisa pasrah. Kembali dia teringat orang orang yang
dicintainya, terutama A berbicara kembali melalui radionya. Kali ini bukan tandu
yang datang, tetapi sebuah kantong hitam yang besar. Orang berbaju putih
memastikan Ratmi telah tiada dan menganggukkan kepalanya kepada orang dengan
kantong hitam besar itu. Pada malam takbiran, stasiun stasiun televisi mengumumkan daftar korban ledakan bom yang meluluhlantakkan sebuah restoran siap saji, yang menewaskan beberapa orang, termasuk satpam dan petugas kebersihan restoran itu, dan seorang wanita tak dikenal. Jauh di kampung Ratmi, Asih sedang
menonton teve, bergerombol bersama anak anak lainnya di rumah pak Lurah.
Matanya yang bundar menyaksikan sorotan kamera televisi yang tertuju pada sebuah kantong hitam besar dimana sisa oleh oleh buat Asih ikut bersama Ratmi dibawa pergi selamanya dalam kantong hitam besar itu.
(Bogor, 22 Desember 2002)
========================================
Pengirim : Dina N.W. Arsjadi
========================================