“MAS terlalu. Mas jahat ”
“Apa salahku selama ini?”
“Mas nggak punya perasaan.”
“Itu jalan terbaik.”
“Baik buat Mas, tidak buat aku.”
“Aku nggak mungkin mencintai dua wanita sekaligus.”
Tangisnya mulai pecah. Air mata bercucuran. Tes, satu butirannya jatuh di atas telpon.
“Kenapa Mas tega lakukan itu?”
“Aku terpaksa.”
“Susah menjelaskannya.”
“Kau tak akan mengerti.”
“Mas yang tak mengerti perasaanku.”
“Mas ingin melupakan hubungan kita selama ini?”
“Anggap itu masa lalu.”
“Yang itu juga masa lalu?”
“Aku belum siap untuk saat ini.”
Gagang telpon di banting dengan keras. Beradunya benda padat itu menimbulkan suara yang membuat ibunya mendongak ke lantai dua.
“Ada apa ” teriaknya.
Tak dihiraukan teriakan ibunya. Ia menghambur masuk ke dalam kamarnya. Menghempaskan tubuh di kasur empuknya, yang ia rasakan bagai batu karang. Keras dan tajam sehingga mengoyak seluruh permukaan kulitnya. Seperti hatinya yang terkoyak malam ini. Hatinya hancur. Ia terbenam dalam lembah kesedihan.
Di luar hujan semakin deras. Sesekali halilintar menyambar. Hujan itu. Halilintar itu. Semakin menambah kesedihannya. Apakah hujan itu turun untuk membasuh wajahnya yang penuh air mata? Apakah suara halilintar itu pengganti simfoni yang sering mereka lagukan dulu?
Ia bangkit. Lalu menutup gorden dan mengunci rapat jendela kamarnya. Ia tak ingin hujan dan halilintar itu menghiburnya. Ia sedih, sangat sedih. Ia ingin menikmati kesedihannya. Terkadang nikmat kesedihan tak ada dalam kebahagiaan. Paling tidak untuk malam ini. Ia berjalan mendekati meja rias model klasik hadiah dari pamannya yang tinggal di Jepara. Lama di pandanginya sesuatu diatas meja itu. Pikirannya menerawang pada tujuh tahun lalu. Ketika itu suasana hatinya kontras dengan malam ini. Seseorang telah membuatnya berada di langit ketujuh. Dan malam ini, seseorang itu telah membenamkannya di dasar tujuh lapis bumi. Waktu begitu kejam, merampas semuanya. Siapa sih dia, apa hebatnya? Apa kelebihan wanita itu dariku? Apakah perhatiaanku selama ini kurang? Aku telah berusaha untuk mengerti tentangnya. Aku berusaha untuk selalu menerima setiap perlakuannya yang terkadang kasar. Tapi malam ini, aku tidak bisa menerima semuanya.
Hujan tetap saja deras. Halilintar tetap memperdengarkan suara gledeknya. Apakah ia tidak merasa bahwa suaranya sangat mengangguku? Ia mendongakkan kepala dan pandangannya menumbuk sebuah lukisan yang tergantng tepat diatas meja riasnya, lukisan mereka berdua karya seorang perupa di Yogyakarta. Lalu ia berbalik memandangi dinding di belakangnya. Sebuah bingkai raksasa menjaga potret mereka berdua dengan latar senja pantai Sengigi. Di pandanginya satu persatu semua benda yang menyimpan kenangan mereka berdua dengan perasaan tak menentu. Mencoba untuk mengingat kenangan di balik semua itu. Tapi lagi lagi pandangannya ia kembalikan pada sesuatu diatas meja riasnya. Entah mengapa dari semua benda yang ada hanya benda itu yang menyita banyak perhatiaanya. Sebuah pigura kecil yang di dalamnya terdapat foto seorang lelaki yang sedang tersenyum. Senyumannya itu. Dia sangat mencintai lelaki itu. Tapi malam ini senyuman itu berubah menjadi seringaian yang mengoyak perasaannya.

Tujuh purnama berselang sejak malam itu. Selama itu pula ia menghabiskan hari harinya dengan penuh kesendirian. Ia memandangi dirinya di depan cermin. Menatap dalam pada dirinya. Telpon berdering. Ia diam beberapa saat. Tetap berdering. Ia tetap menunggu, berharap ibunya akan mengangkat. Tetap berdering. Dengan enggan ia keluar kamarnya. Menuruni tangga. Terdengar suara kaki telanjangnya ketika menyentuh setiap anak tangga.
“Hallo.”
“Hallo.”
Ia mendekap horn telpon di dadanya. Ada keraguan menyusup hatinya ketika ia tahu siapa penelponnya. Suara itu. Suara yang dulu pernah merdu dan sekaligus sumbang pada tujuh purnama lalu. Terjadi konfilk batin, antara kebencian dan kerinduan. Ia memutuskan untuk menerima telpon itu.
“Gimana kabarnya?”
“Baik.”
“Baik.”
Ah terasa garing.
“Aku mau minta maaf.”
“Untuk kesalahan apa?”
“Kesalahanku yang lalu.”
“Lupakanlah, jangan mengorek kenangan.”
“Aku telah melupakannya.”
“Juga aku?”
“Hmm.”
“Juga aku?”
“Perlukah jawabannya?”
“Ya, untuk saat ini.”
“Untuk saat ini?” sambil mengerutkan dahi.
“Aku salah telah meninggalkanmu.”
“Itu adalah pilihan Mas.”
“Dia tak lebih dari seekor ular.”
“Tapi Mas yang memilih ular itu.”
“Kamu jangan membuat aku semakin merasa bersalah.”
“Mas yang merasa seperti itu.”
“Apakah kau masih mencintaiku?”
“Hmm.”
“Kok hmm?”
“Perlukah jawabannya?”
“Aku ingin kembali. Kembali padamu untuk bersama merajut kebahagiaan.”
“Kembali untuk apa? Untuk kemudian meninggalkanku seperti yang Mas lakukan dulu?”
“Maafkan aku, aku ingin menebus kesalahannku.”
“Tak ada yang perlu ditebus.”
“Apakah sedemikian buruk aku di matamu?”
“Apakah kau membenciku?”
“Aku tak ingin meminum racun untuk kedua kalinya.”
“Apa, apakah aku racun?”
“Apakah aku kau anggap racun?”
Ia ingin menangis. Tapi berusaha untuk menahan air matanya agar tidak tumpah. Ia ingin terlihat tegar. Ia ingin terlihat kuat walau telah sendiri. Tapi suaranya tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Ia teringat bagaimana lelaki itu dengan mudahnya memutuskannya, setelah mendapatkan yang baru. Dan sekarang setelah ia di tinggalkan wanita itu, ia ingin kembali padanya. Laki laki macam apa dia? Ia mencoba untuk tidak larut dalam suasana ini. Ia berusaha untuk tidak memberi ruang lagi di hatinya. Luka itu terlalu menganga.
“Kau sudah punya kekasih?”
“Hmm.”
“Kau pasti sudah punya.”
“Pentingkah jawabannya?”
“Ya, untuk saat ini?”
Telpon itu masih tetap di pegangnya walau pembicaraan telah terhenti.
Tuuuuutttttttt………..
Tak dihiraukan lagi bunyi itu. Berjuta perasaan memenuhi benaknya. Ia tak tahu harus bagaimana. Apakah ia harus bahagia karena sekarang lelaki itu merasakan bagaimana sakitnya hati yang terkoyak, dan wanita itu telah lenyap? Bukankah itu berarti sebuah kesempatan untuk merajut kembali benang benang cinta mereka?
“Ah, memang tak ada yang bisa mencintaimu sepertiku,” batinnya
Ning…nong…
Ia seperti terbangun dari mimpinya ketika mendengar suara bel berbunyi. Di lihatnya jam menunjukkan tepat pukul delapan malam. Ia baru ingat kalau malam ini ia ada kencan.

Jogja, 25 Oktober 2004

Deddy S. Tamorua

========================================
Pengirim : Deddy S. Tamorua
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *