Aku adalah anak bontot yang di lahirkan dari empat bersaudara. Aku dilahirkan dari keluarga yang boleh di bilang serba pas pasan. Tapi alhamdulillah selalu masih bisa makan dalam setiap harinya. Kerena seorang ayah yang kerjanya sebagai tukang bangunan, jadi kalau tidak ada order, tak ada penghasilan, paling setiap harinya bertani di sawah. Tapi ayahku terkenal penyabar. Dan ibuku yang penuh lemah lembut kepada anaknya, hanya berjualan telor di pasar. Walau kedua orang tuaku sangat sayang kepada anaknya dan perhatian, tapi aku anak yang katanya paling bandel dari kakak kakak aku. Makanya ketika umurku enam tahun, aku di masukan ke sekolah madrasah, biar agak nurut, katanya. Aku senang sekali ketika memakai seragam merah putih waktu itu. Pergi pagi membawa tas sehabis menyantap sarapan pagi yang sudah disediakan ibu, tidak seperti biasanya sepagi ini sudah ada nasi dan lauknya. Itulah kelas satu yang berjumlah ada sekitar empat puluh anak membuat aku betah. Kerena dari kecil aku suka bermain apa aja. Tak terasa sudah terhitung bulan aku menjadi siswa di madrasah itu.
� kenapa dia menangis�? tanya pak guru ketika memasuki kelas mendengar ada seorang siswa cewe yang menangis. Nadanya tinggi. Semua anak anak diam. Karena pak guru Darsan ini terkenal galak jadi pada takut semua. � bapak tanya, kenapa�? Pak guru mengulangi pertanyaannya. Tiba tiba ada suara cewe yang nyeletuk. � Avi di paremin serbuk kapur sama Taro pak�, kata dia sambil takut takut menatapku. Aku langsung menunduk. Pak guru Darsan itu langsung menatap aku tajam ketika aku curi pandang wajahnya. � Taro, maju kedepan� pinta pak guru setengah membentak aku. Badanku gemeteran kerena merasa takut kerena aku pernah merasakan bagaimana tidak enaknya di jewer telinganya gara gara joged di atas meja. Aku bangit dari kursi dan melangkah kedepan dengan pelan. Semua temanku bersedekap tangan menatapku maju kedepan. Tanpa bilang apa apa pak guru itu langsung memukul tubuhku dengan potongan bambu yang sebesar ibu jari dan panjangnya satu meter. Ceprat…ceprat..ceprat…�tiga kali aku merasakan pedas sekali di kulitku. Aku menangis sesenggukan, lalu aku di suruh duduk kembali oleh pak guru. Anak anak diam seribu takut.
�kenapa bangun tidur kamu menangis nak,�? tanya ayah ketika melihatku sesenggukan di tempat tidur. � taro…..taro….tidak mau sekolah lagi ayah,� jawabku terbata bata kerena menahan tangis yang pilu. � ya sudah kalau tidak mau sekolah, tapi kenapa�? ayah dengan lembut ingin tahu alasannya. � taro….taro takut sama pak guru Darsan ayah, taro takut di pukul lagi,� jawab aku dengan lugunya. � makanya jadi anak jangan nakal, kalau tidak nakal ya tidak di pukul sama pak guru,� jawab ayah senyum dan sekaligus menasehati. Akhirnya pagi itu aku tidak sekolah. Dan ibuku juga mengerti kenapa aku tidak mau sekolah pagi itu. Dan esoknya lagi aku juga tidak mau sekolah. Akhirnya aku berhenti satu tahun tidak mau sekolah. Kedua orang tuaku hanya bisa mengusap dada. Dan kakak kakak aku juga sudah tahu dari kecil kalau aku sangat bandel, jadi tidak kaget.
Setelah aku mogok sekolah satu tahun, aku di masukan lagi kesekolah semula. Itu juga karena bujukan bujukan dari ayah, ibu kakak sehingga aku mau sekolah lagi. Kelas satu aku lalui dengan sempurna, tidak ada masalah. Kerena trauma sehingga aku jadi sedikit pendiam di sekolahan. Apalagi aku mendapatkan peringkat tiga dalam satu kelas merasa senang sekali, kerena menerima bingkisan buku tulis dan pencil dari bapak guru. Di kelas dua aku meningkat menjadi peringkat satu dalam satu kelas. Kedua orang tuaku senang sekali melihatku ketika mendapatkan rangking. � kamu bandel pinter juga,� kata kakak mencandaiku. Walau di sekolahan aku di bilang pandai dalam pelajaran, aku juga masih pandai dalam hal kebandelan. Kini aku sudah kelas tiga. Dan tubuhku sudah mulai agak sedikit gede. Kadang bila jam istirahat aku pulang kerumah untuk makan apa saja yang ada. Kebetulan sekolahan dengan rumah dekat. Pernah juga waktu aku pulang aku dapati nasi masih panas,aku bungkus pakai daun pisang dan aku bawa kesekolahan.
Aku makan saja di kelas. Teman temanku tak ada yang mendekat. Karena mereka takut denganku yang terkenal garang. Sudah bandel, jadi ketua kelas lagi. Mungkin karena aku agak sedikit menonjol di sekolahan, ibu guruku mengangkat aku jadi ketua kelas. Dan anak anak pada takut semua padaku, hebat. Hari itu aku terima nilai ulangan, nilaiku lumayan dapat delapan. Nilaiku selalu unggul di banding teman temanku. Aku berang ketika di kabari oleh teman satu gank aku kalau ada yang dapat nilai lebih dari aku. Dia dapat nilai delapan setengah katanya. Aku samperin dia dengan lagak sok jagoan. Aku marahin dia dengan kata kata yang seolah mengancamnya. � awas kamu kalau berani punya nilai lebih dari aku, aku tonjok kamu,� ancamku sambil mengepalkan tangan seakan ingin memukul dia. � taro…,� tiba tiba aku di kejutkan oleh suara ibu guruku. Rupanya dia tahu apa yang sedang terjadi. � apa apa an sih kamu,�bentaknya. �ya biarin saja dia punya nilai lebih dari kamu, apa kamu saja yang harus punya nilai tinggi,� kata ibu Chomsiyah itu nyerocos.� Aku cuman diam. Anak anak semua hanya menatap ibu guru itu menasehatiku.� Dia berarti mau belajar, jadi ya dapat nilai tinggi,� kalau kamu mau dapat nilai tinggi lagi, ya harus giat belajar lagi, jangan main pukul begitu,� lanjut ibu guru dengan nada yang lumayan menyesakan dada. Bel istirahat sudah habis, kita masuk kelas kembali.
Rupanya kejadian disekolahan itu diketahui oleh orang tuaku dan saudaraku. Karena kebetulan ibu Chomsiyah adalah saudaraku. Dia istri dari pak deku. Dia memberi tahu apa yang terjadi disekolah pada keluargaku. Aku di omelin oleh ayah ibuku dan tak ketinggalan kakak aku juga. Apalagi salah satu kakak aku pengajar pendidikan agama di salah satu sekolah SMP di kotaku. Aku hanya diam, tak aku dengarkan omelannya aku langsung ngacir main bareng teman teman.� Anak di bilangin malah kabur, awas kalau balik nanti,� teriak kakak yang aku anggap angin lalu.
Hari ini adalah penerimaan raport. Bukan orang tua yang mengambil, tapi langsung di bagikan kepada siswa masing masing. Semua siswa sudah dapat raport, tapi aku sendiri belum. Ada apa ini? Aku bertanya dalam hati. Tiba tiba aku di panggil ibu guru untuk keruang guru. Di panggil ibu Chomsiyah, katanya. � taro, ini yang kasih nilai bukan ibu, tapi pak Darsan yang mewakili ibu, kerena ibu waktu itu lagi sakit,�katanya. Aku juga belum ngerti apa yang bu Chomsiyah bicarakan. � dan nilai rata rata kamu itu sama dengan punya mahfudz,� lanjut ibu guru itu sambil menatapku. Aku hanya manggut manggut tak ada masalah. Kerena mahfudz itu anak Bu Chomsiyah, mungkin anaknya takut aku tonjok kali.
� kata pak Darsan mahfudz yang rangking satu, kamu yang kedua, kerena ada nilai yang lebih tinggi dari kamu, bahasa Indonesia mahfudz di raport dapat nilai sepuluh, kamu sembilan setengah,� kata dia memberi penjelasan padaku. � ya bu, tidak apa apa kok bu, taro ngerti,� jawab aku sambil pura pura liatin nilai. Akhirnya aku di beri raport itu. Aku langsung keluar menyatu dengan teman teman. Mereka menanyakan apa yang dikatakan bu guru.� Kamu di omelin lagi yach ro,�? selidik temanku yang anak guru juga. Aku hanya senyum dan langsung pulang. Sampai rumah aku langsung minta di ambilin makan ke ibu. Kerena kebiasaanku kalau tak diambilkan makan, aku gak mau makan, walau sampai sorepun. Apalagi kalau menunya gak cocok, aku ngamuk ngamuk. Pernah juga aku merasakan bagaimana tidak enaknya di ikat tangannya di pohon pisang pinggir jalan. Biasa, gara gara berantem sama kakak cewe hingga kepalanya berdarah. Karena aku timpuk pakai batu hingga menangis. Setelah setengah hari aku baru dilepaskan, itu juga langsung ngamuk lagi dirumah. Buku, baju yang sudah di lipat di lemari, aku ambil, lalu aku acak acak, baru puas.
Duduk dikelas empat kurang enak juga. Karena ruangannya berdekatan dengan ruang guru, jadi kurang bebas bercanda. Tapi diruangan sih bisa tenang, kalau diluar bisa bermain sekehendaknya. Ketika aku sedang main dorong dorongan di pinggir tembok bareng teman teman, aku disamperin oleh Yanto temenku, dia musuhku di kelas, tapi nurut juga ke aku. Dia satu temanku yang sedikit suka membangkang bila aku suruh.
� taro, ahmad anak kelas lima nantang kelas empat semuanya,� katanya. Aku tatap wajah dia seakan tidak percaya.� Bener kamu bilang,�? berani banget dia. Aku langsung jalan di iringi teman teman kelas empat khususnya menuju gedung yang ada di seberang. Karena kebetulan gedung kelas lima dan enam terpisah. Setelah aku tanya ahmad, dengan takut takut dia bilang iya. Tanpa basa basi aku dorong dia hingga terjatuh di tanah, dan aku pukuli dia. Tanpa dikomando dua teman gank aku di kelas empat langsung ngebantuin. Anak kelas lima dan enam hanya melihat saja sambil ketawa ketawa melihat adegan itu. Setelah puas, aku langsung kembali ke ruang kelas, dan diikutin teman teman. Bajuku kotor, badanku berkeringat, sial bel pas banget berbunyi tanda istirahat sudah habis.
Di halaman balai desa siang itu aku terbiasa main bola dengan teman teman sepantarku. Aku lihai juga memainkan bola hingga sering banget membikin gol. Aku termasuk pemberani untuk adu kaki bila ada lawan yang mencoba merebut bola dari kakiku. Sehingga kerena ulahku, bila aku sudah membawa bola, mereka takut takut untuk merebutnya. Sudah jelas taruhannya kaki pincang. Setelah setengah harian main bola aku langsung pulang, biasa mandi. Masa gak mandi, bau lagi.
� duh ini anak, jam segini baru pulang, darimana kamu taro,�? tanya ibuku dengan mimik nyebelin banget kalau di lihat. � main bola bu,� jawab aku enteng sambil kipas kipas muka.
� shalat dulu sana, udah sore, tuh matahari mau terbenam,�lanjutnya. � ntar deh bu, mandi dulu,� jawabku. � kan udah sore, shalat dulu,� kata ibuku dengan nada lumayan keras. Memang ibuku kalau masalah ibadah agak keras juga. Akhirnya aku mengalah, aku sambar sarung yang ada di kursi langsung menuju masjid. Kebetulan masjid bersebelahan dengan rumahku. Aku masuk ke tempat wudlu, aku basuh muka dan tanganku serta kaki langsung masuk masjid. Di dalam masjid aku hanya mengamati langit langit masjid. � duh lama banget nich jam,� bisik hatiku. Aku bukannya shalat di masjid, hanya pandangi jam dinding di depanku. Setelah ada lima menit baru aku keluar, itu yang selalu aku lakukan bila sama orang tua di paksa shalat. � kok cepet shalatnya,�? tanya ibuku sambil memandangku. �tangannya masih belang lagi, gak kena air semua,� lanjutnya. Aku hanya senyum tipis di katain begitu. Aku langsung ambil handuk dan pergi mandi, kerena sebentar lagi maghrib akan tiba.
Pagi pagi aku mengamuk dirumah. Karena semalam aku hampir dimasukan kesumur sama kakak aku yang pertama. Badanku sudah di angkat dan di taruh di atas lobang sumur itu. Aku meronta ronta dan membangunkan orang sekampung. Gara gara sekitar jam dua malam aku terbangun dan merasa lapar, tapi makanan tidak ada. Aku marah marah dan mengamuk. Kakak aku geram sehingga dia ingin memasukan aku kedalam sumur. Dan pagi itu aku masih dendam dengan peristiwa semalam. Ibuku yang sedang masak didapur dengan bahan bakar kayu, aku ambil baranya yang belum terbakar semua, aku lemparkan ke dinding dapur yang terbuat dari anyaman bambu. Ibuku hanya menjerit jerit ngomelin aku kerena takut terbakar. Aku tak pedulikan jeritan ibu. Ayahku langsung mendatangiku,langsung menyabet aku dengan pelepah pohon kelapa. Aku menangis kerena sakit juga. Aku kabur ketika melihat ayahku datang kembali membawa kain yang jelas untuk mengikat aku. Melihat situasi yang merugikan aku, aku langsung kabur. Aku kabur tak tahu harus kemana. Sudah agak jauh aku meninggalkan rumah. Aku telusuri jalan yang panjang dan berniat tak mau kembali kerumah lagi. Tiba tiba dari arah yang berlawanan aku melihat ayahku dan kakak perempuanku. Ayahku memakai kain sarung yang diangkat di atas lututnya, untuk memudahkan dia berjalan. Melihat itu aku langsung putar balik dan lari sekuatnya. � tolong tangkapin anak itu,� teriak ayahku sambil berlari lari mengejarku. Orang orang yang kebetulan berpapasan denganku berusaha menangkap aku. Aku lolos, dan terus berlari. Karena banyak sekali yang mencoba menangkap aku, akhirnya aku ketangkap juga. Dengan nafas yang kembang kempis, ayahku mendekatiku. Dia mendekap aku. Karena ayahku sudah umur juga, jadi yach cepat capai. Aku di tuntun pulang oleh kakak dan ayah.
Rupanya ayah ibu dan kakak aku takut kalau aku kabur dari rumah beneran. Sampai rumah aku sudah disiapin makan oleh ibu dengan lauk yang lebih enak dari biasanya. Karena capai aku makan habis banyak sekali.
Setelah kelas empat aku lalui dengan nilai yang lumayan, rangking satu masih di tangan. Dan kini kelas lima jadi kebanggaan buatku. Posisi ketua kelas masih aku pegang. Dan takutnya teman teman padaku masih ada. Kelas lima aku masih suka dengan bermain sepak bola. Di adu sama kelas enam, kelas lima selalu menang. Biasa mainnya di halaman sekolah. Aku selalu menjadi top scoorer waktu itu. Nomor satu untuk membuat gol.
Pagi itu, aku bersama teman main sirkuk, yang menggunakan pecahan genteng yang di bulatkan. Entah darimana datangnya, tiba tiba siswa cewe kelas enam tanpa sengaja mengganggu permainan kami. Dengan serta merta aku marah marah. Genteng yang ada di tanah aku gunakan dengan kaki arahkan ke dia.� Pletak,� ternyata bidikanku pas mengenai jidatnya. Darah mengalir, dan dia menangis menjerit jerit. Aku bingung juga karena tidak menyangka akan separah itu. Semua diam. Hanya teman cewe dia yang berusaha mengelap darah yang mengalir dari jidatnya yang di tutupi tangan. � laporkan pak guru saja,� kata salah satu dari mereka yang berkerumun. Aku lihat ada empat sampai lima orang menuju ke kantor guru. Aku amati dari jauh, pak kepala sekolah hanya memberikan obat merah dan perban, dia tidak mendekati. Aku merasa merdeka tidak bakal kena marah. � kok pak Nasrudin gak kesini,�? tanya Karni salah satu dari mereka. � suruh tunggu pak Suraji,� jawabnya. Wah pak Suraji adalah wali kelas aku, aku akan kena damprat pasti nanti. Mungkin kepala sekolah itu sudah tahu kebengalanku, jadi dia sudah males kali melihat tingkahku. Aku meski bangga, kerena pas pak Suraji sudah datang, aku hanya di bilangin, jadi tidak di marahin. Karena pak Suraji tahu kalau aku dikelas lima termasuk anak yang pandai, jadi agak diperhatikan.
Pagi itu anak anak di kumpulkan di depan sekolahan. Karena akan ada pengumuman bintang kelas pada ujian akhir. Kelas lima sudah aku lalui dengan mulus. Dari kelas satu di umumkan siapa bintang kelasnya. Terus kedua ketiga ke empat dan sampai kelima. � bintang kelas lima pada saat ini, rangking tiga jatuh pada teman kita Nursholeh, rangking dua jatuh pada teman kita Mahfudz, dan bintang kelas kita di kelas lima jatuh pada teman kita Kotaro,� teriak kepala sekolah dengan lantang. Sorak dan tepuk tangan semua siswa membuat aku malu. Lalu kita bertiga maju kedepan dan diberi bingkisan. Setelah kelas enam di umumkan siapa para bintang kelasnya, kita bubar dan langsung menuju kelas. Setelah pembagian raport, kita pulang kerumah masing masing. Aku kasih raport itu ke orang tua. Aku lihat ayah ibuku tersenyum melihat hasil yang aku peroleh. Kakak aku juga merasa senang.� Kalau kamu sekolah di SMP kakak, kamu bisa pinter sendiri lho Taro,� kata kakak aku serius.
Wah kelas enam agak sedikit berbobot pelajarannya. Aku merasakan sendiri betapa aku harus bisa menghafal hadist hadist yang diberikan guru kelasku. Tapi dengan sedikit males, hafal juga akhirnya. Aku lalui kelas enam dengan asyik. Di kelas enam ini kenakalanku tidak membuat korban teman. Tapi masih sebagai ketua kelas. Pernah temanku yang tak menurut aku, mau aku hajar dan dikejar kejar bersama teman sampai kerumahnya. Gilanya kita tanya kepada orang tuanya apa dia ada dirumah. Dirumah tidak ada masih kita cari. Sampai anak itu tidak kembali lagi kesekolahan sampai pelajaran selesai.
Dikelas enam aku sudah mulai malas belajar. Tidak tahu, mungkin karena aku sudah suka pergi malam bersama teman yang di atasku untuk menonton film atau apa saja. Jadi belajar jadi jelas terganggu. Dan terbukti ketika aku ujian akhir kelas enam, aku hanya dapati ranking tiga. Itu juga dengan nilai Ebtanas yang rendah sekali. Benar juga akhirnya aku masuk SMP dimana kakak aku mengajar disana.
Suasana kelas satu esempe bagi aku semua serba baru. Entah itu teman ataupun suasananya. Dikelas satu aku masih sedikit lumayan mengenai pelajaran. Tapi kerena saingan teman yang kebanyakan pinter pinter, membuat aku jadi belepotan banget dalam hal pelajaran. Kelas satu itu aku hanya pandai dengan hal agama dan pelajaran bahasa Indonesia. Kerena dari kelas madrasah aku sudah suka sekali menulis. Apalagi bila pelajaran yang bersangkutan dengan puisi, aku getol banget membikinnnya. Kelas satu esempe, aku hanya dapati sepuluh besar dalam peringkat kelas. Kelas dua lebih parah lagi, aku tambah bodoh saja, kerena aku sudah mengenal yang namanya cewe. Aku sudah mulai berani pacaran. Kakak aku yang sebagai guru di situ, sebel juga melihat kelakuanku. Apalagi ketika foto cewe itu aku pasang di tembok rumah, dia sedikit marah ke aku.� Taro, ini kayak siswi aku, jangan di pasang deh, malu maluin,� katanya. Coba kalau orang tuanya tahu, diakan malu foto anaknya di pajang di sini,� dia melanjutkan ceramahnya. Aku cuman menjawab ketus.� Yach biarin saja,�. Kakak aku hanya menahan nafas di dada. Aku sudah malas belajar, aku ingin selalu dekat dengan pacar. Kerena sikapku itulah pas ujian akhir, aku sama sekali tidak dapat ranking. Dan kelas tiga lebih parah lagi. Aku sudah berani membawa cewe kerumah. Orang tuaku hanya diam, kerena dia menganggap dia adalah teman sekolah. Belajar bagiku adalah nomor tujuh. Tapi gilanya, aku jadi ketua OSIS di sekolah. Mungkin kerena aku mempunyai kelebihan dalam hal ngomong, jadi aku di nobatkan jadi ketua. Sebenarnya aku di sekolah juga tidak begitu pinter pinter amat. Pernah aku mengisi inti pengajian menggantikan kakak aku waktu Isro� Mi�roj. Lumayan aku bisa ngomong satu setengah jam di depan teman temanku dan guru esempeku. Aku juga yang memberikan sambutan kelas tiga kepada kelas satu yang baru ditatar P4. Itu semua jadi moment tersendiri buat aku. Walau perkelahian tak pernah lepas di sekolahan. Tapi teman teman aku tahu apa yang harus dia lakukan. Kerena dia tahu kakak aku mengajar di situ, sehingga bila habis berkelahi di bawa ke kantor bimbingan penyuluhan, aku tak di sebut sebut, jadi selalu lolos. Kelas tiga aku lalui, dan sebentar lagi akan selesai.
Malam itu ada tontonan dangdut di tetangga desaku. Siang sekolah, malam begadang. Banyak juga yang datang untuk menikmati goyangnya artis kampung. Aku datang biasanya hanya ingin main main saja, dan tontonannya nomor sekian. Di kala aku dan teman teman lagi nongkrong, aku di datangi oleh anak esempe negeri tetangga. Yang anaknya aku tidak kenal, tapi teman aku ada yang kenal. Dia minta rokok tidak kita kasih, kerena memang kita tidak lagi merokok., lalu dia minta duit, terang tidak dikasih sama teman aku. Dengan ketawa dia kentutin muka kita dan langsung ngeloyor pergi. Darahku berdesir keras, mukaku langsung merah. Aku bangun tapi di tahan oleh teman aku.� Udah biarin aja ro,� berantem di tontonan ntar kamu malah bonyok,� kata temanku menasehatiku. Aku berfikir betul juga, berantem di keramaian begini orang yang tidak tahu apa apa akan ikut mukul juga. � ya udah bilang padanya besok disekolah, ditantang oleh aku, satu lawan satu, jangan bawa teman,� aku berkata pada temanku yang kebetulan satu sekolah sama dia. Akhirnya malam itu aku pulang dengan hati yang dongkol. Tantanganku di terima olehnya. Hari Sabtu siang itu aku pulang sekolah, kerja di sawah bentar, baru pulang. Hari ini aku mau berantem, satu lawan satu. Makanya aku datang tidak berniat membawa teman. Setelah aku fikir fikir menyesal juga berantem lagi. Ach..aku mau minta maaf aja nanti ah,� aku berkata dalam hati. Aku naik sepeda menuju tempat yang sudah di janjikan. Sampai di sana aku lihat ramai banget orang. Rupanya dia datang tidak sendiri. Dia bawa teman sekitar ada sepuluh orang. Bukan anak sekolah lagi, sebagian orang dewasa. Badannya gede gede. Aku tetap mendatangi tempat itu. Dalam keadaan masih duduk di sepeda sambil bersandar di atas jembatan, salah satu dari mereka mendekatiku.� Kamu taro ya,�? tanya dia dengan menatap aku tajam.� Ya, aku taro,� jawab aku singkat. Tanpa berkata apa apa orang itu melayangkan tinju di mukaku.� Ceprooot,� . Aku hanya diam, kerena jumlah mereka banyak, aku meski tenang. Satu pukulan mendarat di mukaku, teman teman dia langsung menghambur ke aku. Ceprooot…ceprooott…..ceproottt,� tiga pukulan mengenai wajahku tanpa ampun, telak sekali kerena aku tak bisa mengelak dalam kondisi duduk di atas sepeda. Mulutku berdarah ketika aku meludah ada bercak merah di sana. Dengan santai aku turun dari sepeda. � mas, aku kesini bukan mau berantem, aku mau damai,� aku berkata dengan pelan.� Damai..damai..tak ada damai damaian,� pekik dia sambil melayangkan tinju ke mukaku. Kali ini aku kena lagi. Kerena aku tidak menghindar. Aku terima saja bogem mentah itu. � ya sudah kalau kalian mau berkelahi, tapi aku tidak menantang kalian, aku menantang dia, kalau mau berkelahi aku sama dia,� teriaku keras sambil mengacungkan jari ke orang yang aku tantang. Anak itu sudah kecut. Dia di dorong dorong sama teman teman dia. Akhirnya aku di giring ke tengah kuburan. Di kala aku sedang berjalan, satu bogem mentah lagi mengenai mataku. Kali ini aku merasa sakit, sehingga dari mulutku keluar kata kata Istighfar.� Masih bisa nyebut ya,�? kata yang memukul aku dengan berang. Aku seperti ayam yang mau berantem. Aku dikelilingi oleh mereka dan di tengah hanya aku dan musuhku. Dari belakang aku selalu terima tendangan yang tak aku ketahui. Aku pukul muka dia sekali.� Bletak..,� dia terhuyung dan langsung menutupi kepalanya. Aku maju kedepan dan ingin menghabisi dia dengan tendangan dan pukulanku, tiba tiba aku dengar teriak seseorang.� Itu kayak kelebatannya taro apa,�? kata orang itu. Aku menoleh ke arah suara itu. Ya ampun kakak aku. Aku bingung kerena aku tak mau diketahui oleh keluarga kalau aku berantem lagi. Anak anak bubar. Aku ajak salaman mereka tidak mau. Mereka ternyata masih dendam. Aku bilang ke kakak jangan di bilangin ke ibu. Kakak mengiyakan. Tapi kerena musuh musuhku masih dendam, aku satu minggu tidak kemana mana, orang tuaku takut aku dibacok. Setelah diselesaikan oleh aparat tentara, akhirnya kita damai. Walau ibuku melihat aku berantem dia menangis. Aku terima omelan dari semua saudaraku di rumah ataupun saudara sepupu. Ach aku jadi bahan makian saat itu. Aku hanya diam diam dan diam. Satu pukulan di mata inilah yang berbekas biru, jadi lumayan juga seh pukulan orang dewasa. Aku sudah merasa lelah untuk maju kedepan. Aku ingin mengahiri, aku ingin tenang tanpa mata pelajaran, bisiku. Ketika aku bermesraan dengan ilalang di pinggir pohon padi, padi berisi berkata.� Engkau tidak akan pernah memahami tetesan embun kepada bunga padiku ini, kerena dia melakukan dengan nurani. Dengan senyum aku jawab.� Aku mengerti kawan, kerena aku mendengarkanmu dengan nurani, kerena kamu berkata dengan bahasa nurani�. � aku akan setia ke kamu kawan, aku dalam setiap harinya akan mengisi perutmu, agar kamu bisa hidup dan menatapku menguning di ladangmu,� bisik dia. Dan aku yakin dalam hidup ini kerena dia, aku tidak akan kelaparan. Rizki itu sudah di jatahnya. Aku bangga jadi orang sekarang.
Salam buat Mas Mundir, Mas Solih, Mba Kana dan semua yang telah membuat dorongan padaku untuk selalu maju dapati RidloNya.Salam Buat Orang Gombong Semuanya.
========================================
Pengirim : Kotarom Minami
========================================