Batagol mengikat tali sepatunya. Dia bergegas memasuki lapangan. Tak ada yang berubah. Riuh rendah gemuruh suara penonton, rumput yang terhampar bagai permadani hijau, dan dua gawang yang berdiri kokoh saling berhadapan laksana dua ksatria menghunus pedang. Tak ada yang berubah. Semua masih sama, kecuali dirinya.
Tujuh tahun lalu, Batagol adalah bintang. Namun, seiring makin bertambahnya usia, dia kini hanyalah pecundang di lapangan. Tak ada lagi teriakan mengelu elukan namanya saat beraksi di lapangan. Justru saat melakukan kesalahan caci maki terdengar bergema memenuhi sudut sudut lapangan.
Batagol masih ingat, tadi pagi istrinya mengeluh beban pengeluaran rumah tangga yang kian menghimpit. Segala tagihan bulan ini belum dibayar; mulai dari listrik, telepon, cicilan motor, dan rumah. Belum lagi dua anaknya, Isabel dan Lura, yang akan masuk SD dan SMP, minggu depan. Tentu butuh biaya yang tidak sedikit.
Pikiran Batagol kian ruwet setelah sejak dua minggu lalu pihak manajemen klub memotong gajinya lantaran tanpa sengaja dia mencetak gol bunuh diri. Tindakan ceroboh bagi seorang penyerang berpengalaman seperti dirinya.
Dia masih bisa bernafas lega karena nasibnya tak setragis Escobar, pemain yang membuat gol bunuh diri bagi tim Kolombia di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Escobar akhirnya tewas diberondong peluru seusai pertandingan di sebuah klab malam.
Namun itu tetap belum bisa mengurangi beban Batagol. Apalagi ketika di ruang ganti pakaian pelatih mengancam akan memecatnya jika gagal mencetak gol ke gawang lawan. Klub yang dibela Batagol saat ini memang tengah terancam terlempar ke divisi yang lebih rendah dan membutuhkan kemenangan untuk bisa mempertahankan posisi.
Dulu Batagol begitu mudah melesakkan bola. Namun kini semua kepiawaiannya seakan sirna. Tahun ini dia bahkan baru mencetak satu gol dalam puluhan pertandingan.
Batagol sadar karirnya mungkin sudah memasuki ujung senja. Waktunya semakin terbatas untuk mengeruk uang di lapangan hijau. Dia ingat nasib George Weah, penyerang bintang yang uzur dan didepak klubnya ke klub gurem. Namun dia juga menyadari tak bisa tampil terlalu ngotot karena dia harus hati hati untuk menjaga kakinya, investasi terbesar karirnya. Dia tak ingin seperti Marco van Basten, bintang besar yang terpaksa gantung sepatu di usia relatif muda karena cedera engkel yang berkepanjangan.
Semakin uzur usianya, Batagol kian sadar, olah raga khususnya sepak bola sudah kian menjauh dari sisi sportivitas. Bukan sekadar menang dan kalah, bukan lagi sekadar persoalan bagaimana melahirkan tubuh dan jiwa yang sehat. Atau bukan semata mata media relaksasi. Di sepak bola, begitu banyak jumlah uang yang dipertaruhkan. Sepak bola menjadi medan pertarungan yang melibatkan banyak kepentingan terutama perebutan kekuasaan dan dominasi modal. Ia telah menjadi industri.
Setiap pemain dihargai sesuai kemampuannya menggocek bola. Pemain hanyalah buruh buruh yang menggerakkan roda industri sepak bola. Dan harga Batagol kian tahun kian menyusut. Meski perputaran uang membesar, di negeri ini sepak bola belum menjamin kesejahteraan para pemainnya. Batagol sangat khawatir, jika pensiun sebagai pemain bola, maka nasibnya tak akan jauh berbeda dengan teman temannya yang lebih dulu gantung sepatu.
Batagol ingat nasib Brangkah yang tahun lalu gantung sepatu dan kini menjadi penjual minuman ringan dan rokok di pinggir jalan. Lantas si Somad yang kini menjadi penyobek tiket di pintu stadion. Atau Si Jupri yang berprofesi sebagai tukang ojek di pasar inpres. Hanya Benirto yang bernasib agak baik. Benirto saat ini bekerja sebagai tukang cuci kostum para pemain di sebuah klub terkenal.
Bataaa, itu bolamu Batagol tersadar dari lamunannya. Si kulit bundar sudah meluncur deras. Batagol tergagap. Ia gagal mengontrol bola sehingga dengan mudah direbut pemain belakang lawan. Teriakan, Huuu bergemuruh dari tribun penonton.
Di sebuah rumah petak di lorong gang kumuh yang becek dan penuh sampah, Sukra nampak gusar. Ia merobek robek puluhan poster Batagol di dinding kamarnya yang sumpek dan bau anyir. Sukra kecewa dan murka setelah idolanya itu kian tampil buruk tahun ini. Dulu ia selalu menang taruhan saat menjagokan tim yang diperkuat Batagol. Kini ia sering kehilangan uang, setelah kalah taruhan.
Bahkan Surip, kawan sesama tukang becak, dua hari lalu dipukuli orang sampai koma. Gara garanya Surip tak bisa melunasi utang, setelah uang yang seharusnya digunakan untuk membayar dipakai bertaruh. Dan Sukra menyarankan Surip untuk bertaruh pada tim Batagol. Tim Batagol kalah dan salah satu penyebabnya adalah gol bunuh diri Batagol. Niat Surip untuk menggandakan uang justru berakhir sebaliknya.
Sukra ingat malam seusai pertandingan segerombolan tukang kredit menggebuki Surip hingga babak belur. Surip kini terbaring lemah di rumah sakit dan sama sekali belum disentuh perawat apalagi dokter karena ia tak sanggup membayar uang muka pengobatan.
Sukra tak mampu menolong temannya. Uangnya yang tersisa juga sudah dihabiskan untuk bertaruh. Rasa sesal Sukra semakin tajam seperti pisau yang mengiris ulu hatinya. Uang itu sebenarnya akan digunakan untuk membiayai persalinan anak pertamanya. Namun kepahitannya tak juga berakhir. Tadi malam, lantaran tak memiliki sepeser uang untuk menyewa ambulans atau taksi, ia nekat mengantar istrinya dengan mengayuh becaknya menembus keremangan malam. Namun akibat pendarahan yang terlalu banyak, istri dan anak dalam kandungan akhirnya meninggal di depan klinik bersalin.
Stadion Lebak Membara masih bergemuruh. Kedudukan kedua kesebelasan masih imbang 0 0. Kedua tim silih berganti melancarkan serangan. Waktu tersisa tiga puluh detik.
Sukra masih duduk tegang di bangku tribun penonton paling depan. Meski tak tampil di lapangan, peluh keringat membasahi sekujur tubuhnya. Di pangkuannya tersembul lembaran kertas koran bekas. Dua belah tangannya tersembunyi di balik kertas koran itu.
Diam diam sejak memasuki stadion, Sukra telah menyembunyikan pistol rakitan dan berhasil lolos dari penjagaan petugas keamanan yang tidak terlalu ketat. Sukra menyewa pistol itu dengan cara utang dari Jaki, preman tetangganya. Pistol dan dua butir peluru itu akan digunakannya untuk menembak Batagol. Pemain idola yang kini dianggap telah menghancurkan hidupnya.
Batagol masih berdiri di antara dua pemain belakang lawan. Sudah empat peluang yang disia siakannya. Selintas ia melihat sang pelatih tampak gusar menyaksikan penampilannya. Bayangan kesedihan istri dan anak anaknya menghiasi pelupuk mata.
Tiba tiba bola lambung mengarah kepadanya. Seorang pemain belakang lawan terpeleset dan ia lepas dari jebakan off side. Bola tepat di hadapannya. Jarak dengan gawang juga tinggal sembilan langkah. Batagol tinggal melakukan tendangan. Suara penonton kian bergemuruh.
Detik detik serasa seperti adegan lamban. Batagol memfokuskan pandangan ke depan. Di saat yang bersamaan, Sukra bersiap menarik pelatuk pistol dari balik kertas koran. Jarak Sukra dan Batagol yang berdiri sendirian di mulut gawang hanya sekitar 16 meter.
Ujung sepatu kaki kanan Batagol menyentuh bola. Sedikit lagi Sukra menyentuh pelatuk pistolnya. Dorrr Bola melesat ke sudut kanan atas gawang. Penjaga gawang lawan menerjang bola namun gagal menghalaunya. Batagol roboh. Teman temannya langsung berhambur mengerubunginya seraya merobohkan diri untuk merayakan gol. Sukra menyimpan kembali pistolnya ke dalam ransel.
Senayan, Oktober 2003
========================================
Pengirim : endro yuwanto
========================================