Tidak jauh dari dorm saya di Woodstock Road, sekitar lebih kurang 5 menit berjalan, tempat makan anak anak sekolah tempat saya belajar, berdiri tegak. Sudah kebiasaan bagi saya untuk bangun jam tujuh lewat duapuluh menit, mandi entah berapa lama, gosok gigi, ganti baju, pergi ke tempat sarapan yang saya sebut di atas, dan sesampainya di tempat makan diusir oleh penjaga �dining hall� itu karena datang terlalu pagi untuk sarapan jam 8. Sampai sekarang saya heran kenapa si penjaga tidak pernah bosan pada saya dan membiarkan saya masuk lebih awal. Setiap kali dia melihat saya seperti seperti dia baru pertama kali mengusir seorang asing.

Pagi itu, sekitar 3 bulan dari hari pertama saya di sekolah ini, seperti biasa saya makan makanan pagi saya: roti coklat dan sereal entah apa namanya tapi bentuknya tidak beda dengan snack faforit saya dulu di tanah air, taro, hanya saja agak gelap warnanya. Untuk melengkapi semua itu, tenggorokan hangat saya dari tidur 7 jam setiap hari, biasa saya dinginkan dengan jus jeruk.

Kedatangan saya yang awal itu sering ditemani dengan kesepian. Sepuluh menit dari ritual makan pagi saya, tanpa saya mesti ragu lagi, saya tahu bahwa akan ada seorang masuk ke dining hall dan membunuh kesepian yang susah di dapat di bagian tengah Oxford, apalagi di daerah saya belajar. Entah siapa yang akan masuk tapi bisa saya dengar desas desus orang mengambil piring dan mengentre untuk mendapat giliran diberi makan. Satu per satu kursi di dining hall terisi cukup cepat. Di meja saya yang berkapasitas 4 kursi, termasuk yang saya sudah duduki, tidak ada orang lain. Memang teman teman baik saya biasanya tidak mau merelakan waktu tidurnya untuk sarapan.

Entah dari mana datangnya, setelah menyuap sendok terakhir sereal saya, di kursi yang berhadapan dengan kursi saya, duduk seorang kulit coklat, mungkin dari Amerika latin�gelap tapi bukan Afrika�yang melihat lurus kemata saya sambil menyilangkan tangannya di depan dadanya.

�You�re done with that?� sembari mengindikasikan piring saya dengan matanya.

�Ada hal penting.� Dia bilang.

Kaget sembari bingung melihatnya, proses mekanika pengunyahan sereal yang saya sudah kuasai sejak lama bisa bisanya terhenti. Setelah menelan apa yang ada di mulut, saya melihat baik baik orang ini. Ternyata dia adalah si pengusir jam 8 pagi. Tidak seperti biasanya dia senyum dan bajunya rapih seperti mau ada acara penting nanti siangnya. Dia bilang dia mau bicara pada saya. Maka dari itu saya mengambil tisu, membersihkan ujung bibir saya, dan mengembalikan piring piring ke dapur. Kita keluar dan langsung tangan saya terasa di pegang erat dan ditarik sehingga entah bagaimana dada saya ada di dada si pengusir, sedangkan kalau berdiri bersebelahan kepala saya sejajar dengan dadanya. Pegangannya sangat erat. Belum pernah saya merasakan betapa indahnya hidup ini sampai saat terlepasnya saya dari pelukan si pengusir yang hampir memeras mata saya keluar dari soketnya.

�Thank you, oh… thank you?� dia bilang sambil matanya berkaca kaca. Saya bingung dan tidak tahu mesti bilang apa.

�Ok…� dua huruf yang saya bisa bilang dalam kondisi yang cukup semerawut. Saya bertanya kenapa kok mesti pake bertrima kasih segala.

�Hidup saya tidak ada yang tentu. Tidak tahu saya apa yang akan terjadi di masa depan sampai bertemu kamu. Setiap bangun pagi saya tahu pasti kamu akan saya usir. Belum pernah saya ada keinginan untuk bangun tidur.�

Terus terang saya agak takut. Pertama saya kira dia ingin mencoba untuk menyatakan cintanya pada saya. Biasalah, namanya juga tahun 2004, semuanya bisa terjadi. Tapi dia mulai bercerita lagi. Dia bilang dia sudah mencoba untuk mengakhiri hidupnya yang tidak tentu itu beberapa kali. Kadang kala dia takut untuk keluar rumah karena dia takut diluar akan ada tentara gila yang akan membunuh semua warga Oxford. Atau akan ada seekor merpati yang tersengat tiang listrik lalu jatuh tepat di kepalanya dan membunuh dia.

Saya melihat sekeliling untuk mencari kamera tersembunyi tapi tidak ada. Tentang tentara gila, saya pikir orang ini mungkin yang gila. Sayang, saya tidak mengerti bagaimana otaknya berjalan. Alangkah bagusnya untuk seorang murid psikologi untuk menganalisa pola berpikir si pengusir.

�With you every morning, paling tidak saya tahu pasti apa yang akan terjadi.� Saya lantas bertanya kepada dia kenapa bajunya tumben rapih. Dia bilang dia akan pergi menjadi �Bouncer� di Mood Bar di City Centre karena dia tahu disana akan ada anak anak dibawah 18 tahun yang akan mencoba masuk ke dalam bar itu untuk mengkonsumsi alkohol setiap minggunya.

Sampai sekarang saya masih bingung apa sebenarnya pekerjaan si pengusir ini. Apakah sekolah membayarnya hanya untuk mengusir orang dari dining hall? Ataukah dia juga membantu memasak makanan? Saya tidak mau ambil pusing tentang dia. Akhirnya dia pamit dan segera menunggu di bus stop untuk naik nomor 7 yang akan membawa dia langsung ke jantung kota.

Keesokan harinya saya bangun pagi. Hari ini saya terlambat bangun. Jam saya menunjukkan jam tujuh lewat tigapuluh menit dan tidak akan ada waktu untuk mandi. Setelah ganti baju saya keluar ke jalan untuk ke dining hall. Di jalan saya merasa lesu. Lubang hidung sebelah kanan saya tersumbat. Selama tiga bulan baru sekarang saya merasa tidak enak badan. Masih sibuk membayangkan tentang musnahnya rekor saya sebagai satu satunya anak di sekolah yang tidak pernah sakit selama semester ini, sebuah mobil mengerem dan suara teriakan histeris terdengar dari seberang jalan. Seorang anak laki2 sekitar dua belas tahun tergeletak di tengah jalanan dengan tangannya yang patah dan suaranya yang meraung mengekspresikan rasa sakitnya. Pengemudi mobil keluar dan orang orang mulai mengerumuni lokasi kejadian dan salah satunya menelpon ambulans. Saya melangkah kearah kejadian tapi setelah melihat jam tangan yang menunjukkan pukul tujuh lewat limapuluh menit saya putuskan untuk melanjutkan berjalan ke arah dining hall.

Sesampainya di sana saya baru ingat bahwa si pengusir sudah tidak lagi ada di situ. Saya pun masuk secara gampang dan mulai duduk ditemani sepi menunggu makanan untuk siap saya pungut. Jam tangan akhirnya menunjukkan pukul 8 pas dan seperti saya duga makanan sudah siap. Langsung saya bangun dan menaruh spotong croissant dan untuk minumnya teh panas manis.

========================================
Pengirim : Adji S
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *