Suatu hari dalam perjalananku bersama seorang kawan, kawan saya itu bercerita, bahwa karena kepandaiannya dulu, dia semestinya dapat lebih cepat lulus sekolah dasar. Saat kelas lima, dia ditawari untuk dapat mengikuti EBTA (saat itu belum ada EBTANAS) dan jika berhasil, dia dapat lulus dan artinya dapat memasuki SMP satu tahun lebih awal.
Tapi, hal itu tidak pernah terjadi. Sebuah keputusan yang didasari atas banyak pertimbangan, menjadikan hal itu tidak pernah terjadi, meskipun sebenarnya bukan sebuah hal yang mustahil. Untuk beberapa tahun, kawan saya itu demikian menyesali keputusan kepala sekolahnya. Untuk beberapa tahun, dia mengutuki nasibnya untuk dapat menjadi yang tercepat. Ya, untuk beberapa tahun, dia teramat menyesali hal itu.
Namun, entah mengapa, suatu hari dia disadarkan, bahwa dia harus bersyukur, bahwa peristiwa itu tidak pernah terjadi. Dia tersadar, bahwa sebuah peristiwa, tidak peduli kecil ataupun besar peristiwa itu, dapat membuat arah sejarah hidupnya, bahkan orang orang di sekitarnya, berbeda. Ya, dia tersadar, bahwa jika dia dapat menyelesaikan SD nya lebih awal, maka dia mungkin tidak berada dalam sebuah sekolah tinggi yang menjadikannya bekerja seperti saat ini. Lebih bukan soal penghasilan besar yang dia dapat dari perusahaan tempatnya bekerja, namun lebih pada suasana kerja, rekan rekan sekerjanya yang kemudian menjadi sahabat terbaiknya.
Dia merenung, teramat banyak yang tidak akan terjadi seperti saat dia merenung, jika dia menyelesaikan sekolah dasarnya lebih awal. Bahkan, mungkin dia tidak bertemu dengan seseorang yang dicintainya dan memberinya seorang putri yang jelita. Sebuah kesadaran, yang walaupun terlambat, telah membuatnya mengerti, bahwa Tuhan mempunyai rencana besar yang kita hanya mampu membacanya dengan benar, setelah rangkaian peristiwa itu terjadi.
Kawan kawan, mungkin cerita di atas terlalu panjang untuk sebuah awalan. Meski demikian, saya bahkan ingin menambahkan sebuah cerita lagi. Cerita yang saya dengar dari guru bahasa Sunda saya (semoga beliau membaca dan tersenyum untuk saya). Ceritanya tentang dua orang sahabat yang tengah mengalami sebuah perjalanan. Dalam perjalanan tersebut, orang pertama, sebut saja John, sering melakukan kesalahan, hingga orang kedua, sebut saja Jack, memakinya dangan kata kata kasar.
Peristiwa tersebut berulang kali terjadi, dan tiap kemarahan dan makian itu muncul, John diam diam menggoreskan peristiwa itu di atas pasir yang mereka lewati. Berulang kali John melakukannya, hingga pada suatu ketika, dia nyaris tergelincir ke jurang yang dalam. Pada saat itulah, Jack, sahabat yang dalam sepanjang perjalanan memakinya, menyelamatkannya. John tersadar, dan menggoreskannya kembali. Kali ini tidak di atas pasir, namun dipahatkannya di atas batu.
Kawan kawan, sebagai awal tulisan ini, cerita tadi semoga menarik. Dari dua cerita di atas, saya hanya ingin menarik sebuah kata besar untuk mewakilinya, yaitu : sejarah. Yang pertama sekali adalah, bahwa jangan pernah menyesali atau mengutuki diri terlampau berlebih, jika sebuah peritiwa harus terjadi atau bahkan harus tidak terjadi pada kehidupan kita, karena kita bahkan kita terlampau bodoh untuk tahu peritiwa yang mengikutinya atau tidak mengikutinya sebagai babakan sebuah sejarah.
Persis sama dengan cerita kawan saya itu, bertahun tahun dia menyesalinya tidak terjadinya sebuah peristiwa dalam hidupnya, yang dia pikir, hidupnya akan menjadi tidak berarti. Namun, kemudian dia harus bersyukur teramat dalam, karena dia tersadar sejarah telah membawanya pada kenyamanan yang dia harapkan.
Dan yang kedua, untuk apapun yang kita lakukan, yakinlah sejarah akan mencatatnya. Dengan cara bagaimana sejarah mencatat, itu akan sangat bergantung pada orang orang dalam lingkaran sejarah kita. Bahwa, dalam cerita di atas, sejarah mencatat dalam goresan yang seadanya (yang kemudian hilang dari ingatan kita) untuk perbuatan buruk kita, itu sebuah keberuntungan.
Juga ketika sejarah mencatat dalam goresan yang kuat dan tidak terhapus oleh zaman untuk perbuatan mulia kita, itu juga sebuah keberuntungan. Hanya pernahkah kita berfikir, bagaimana jika sejarah, melalui tangannya yang kuat justru mencatat perbuatan buruk, prestasi redup kita, bahkan ketidakmampuan kita dalam cacatan yang terpahat di dinding batu ?
Dan pernahkah pula terfikir, bagaimana jika sejarah, melalui tangannya yang renta dan tidak mengenal keadilan justru mencatat perbuatan mulia, prestasi gemilang kita, bahkan kemampuan kita dalam catatan di atas pasir pantai yang sebentar saja lenyap diguyur ombak ? Kita bisa apa ? Yang pasti, diminta atau tidak, sejarah akan mencatat prestasi kita, dan jika tidak hari ini ditunjukkannya bagi semua orang kegemilangan kita, mungkin esok hari, ketika tangkup musim menjadi sempurna, seperti halnya dia akan tunjukkan ketidakmampuan kita pada banyak orang, meski dengan sekuat tenaga, kita menyembunyikannya rapat rapat di ketiak zaman yang busuk.
Terakhir, kawan, sebuah goresan saja di atas batuan cadas (dan itu teramat sulit melakukannya) teramat lebih berarti dari pada selaksa goresan lemah di atas pasir pantai.
========================================
Pengirim : moumtaza
========================================