Bada Maghrib di Padepokan Tebet,12 Juli 03;
Di bawah sinar bulan purnama malam ini. Segumpalan awan berarak di langit, mengitari sang bulan, yang telah terbit bersamaan dengan tenggelamnya matahari, sekitar dua jam yang lalu.
Dengan begitu cepat, lalu sang paras putri itu naik dari kaki langit. Semakin meninggi, memberi warna putih kekuningan ke segala penjuru dan sudut sudut bumi yang tersentuh oleh
cahayanya. Genting rumah, pucuk pucuk daun dan ranting pohon mangga, nangka,
jambu, mengkudu, palem, cemara, dan hamparan rumput di taman pedepokan ikut menguning.
“Apa yang sedang kau lakukan saat ini, Aisyah?”, gumamku.
Malam minggu di sini begitu sepi. Cipeng ke Pulau Matahari, mengejar doorprize, untuk melengkapi koleksi barang barang pribadi di ruang kamarnya selamat, semoga dapat yang diincar . Wanus ke Lampung, hanya demi “mengekspor” kucing. Suatu bentuk “rasa kebinatangan” karena yang ia cintai bukan manusia: ), yang mengagumkan. Sementara, Patrang sibuk dengan dead line kerjaan kantornya selamat berpusing ria, Gus: ). WW entah ke mana, aku tak tahu. Orang satu
ini begitu mobile, se mobile teknologi perusahaan seluler tempat ia bekerja.
Hanya angin semilir yang setia menemaniku malam ini. Ia menari nari di atas daun daun mangga, nangka, jambu, dan begitu senangnya bermain main di pucuk pohon cemara yang paling tinggi. Sementara, rumput rumput di taman tak
bergeming sedikitpun. Mungkin karena ia pendek, sehingga angin pun tak sampai untuk menjamah mereka.
Aku lihat kembali bulan yang telah meninggi di balik dedaunan pohon palem, di atas pohon mengkudu, yang tepat di depan ruang perpustakaan. Ia begitu indah, hampir bulat penuh. Terkadang ia malu malu, bersembunyi di balik
awan berarak. Seperti halnya diriku bila bertemu Aisyah.
“Inilah yang disebut tengah bulan purnama, anakku”, dulu bunda memberitahukan istilah itu kepadaku. Satu hal yang tak pernah aku lupa.
Bila setiap purnama tiba, bunda selalu mengajakku menggelar tikar di halaman depan rumah. Kita sekeluarga biasanya tidur lesehan, sambil bunda
memberiku dongeng tentang cerita yang bernilai kemanusiaan dan kepahlawanan. Sementara
kakak kakakku yang lain, bermain di lapangan rumah tetangga, bersama teman temannya. Waktu itu kampungku masih belum ada listrik. Televisi
masih menjadi barang langka. Hanya satu dua orang yang tergolong kaya di kampung,
yang memilikinya. Tidak banyak hiburan seperti sekarang. Hanya sinar bulan purnama yang dianggap mendatangkan keberkahan. Terutama bagi anak anak kecil, untuk bermain petak umpet. Dan bagi para tetangga untuk berkumpul, merajut kebersamaan.
Kini semua kenangan itu telah berlalu, hilang lenyap seperti sampah sampah yang terhanyut derasnya arus Kali Ciliwung, di kala datang air bah melanda Jakarta. Hilang lenyap, tergilas oleh modernisasi yang kini mewabah hingga sampai ke pelosok desa. Kini, tak lagi bisa kutemukan nila kebersamaan, ciri khas masyarakat pedesaan, warisan nenek moyang. Listrik, televisi dan
segala dunia hiburan, lambat laun kurasakan hanya mendatangkan virus virus individualisme, mengikis hubungan kekerabatan, sehingga tidak pernah mau mengerti nasib tetangga. Tayangan telenovela hanya membuat masyarakat tidak
peka terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.
Kembali semilir angin menyapaku dingin malam ini. Menggoyang goyang dedaunan di sekitar taman. Buah mengkudu berserakan di atas rumput taman padepokan, di depan ruang perpustakaan. Tentu bukan karena angin semilir malam ini penyebabnya, karena ia begitu bersahabat, setia menemaniku. Mungkin saja hewan hewan malam yang merontokkannya. Entah ulah kelelawar, atau codot orang kampung dulu menyebutnya.
Ingatanku mulai kembali melayang ke masa silam. Bulan purnama mengingatkanku pada forum pengajian “Padhang mBulan”, yang diadakan Cak Nun Emha Ainun Nadjib di pelataran rumahnya di Jombang setiap bulan. Tengah bulan purnama juga mengingatkanku pada ritual bulanan yang dulu rutin aku jalani. Aku tidak pernah tahu apa yang aku lakukan ketika itu. Yang aku
tahu, itu ajaran dari guru ngajiku sewaktu masa kecil di kampung dulu. Kini aku baru tahu. Kitab Fathul Muin, karya Syekh Zainuddin bin Abdul
Aziz al Malibari al Fannani telah mengajariku. Memberiku pemahaman, bahwa, puasa
sunat itu dibagi dalam tiga macam; puasa tahunan, seperti Arafah dan Asyuro. Puasa mingguan, seperti Senin dan Kamis; dan bulanan, yang jatuh pada tanggal 13, 14, dan 15 pada penanggalan tahun Hijriyah. Sebuah proses belajar agama secara autodidak, yang terbukti kini memberiku banyak manfaat.
Ranting, dahan, daun, dan batang pohon cemara di taman padepokan ini kembali bergoyang. Pohon mangga yang rindang, paling berisik menyuarakan gesekan dedaunannya. Angin semilir menerpa wajahku. Aku jadi teringat kembali wajah
Aisyah di seberang sana. Entah apa yang ia kerjakan malam ini, aku tak tahu.
Yang pasti, aku tak bisa menemaninya malam ini.
Aku hanya bisa terpekur dan merenung, menurutkan pergulatan hati. Maafkan aku, Aisyah. Malam ini aku tak mengunjungimu. Pening sekali
kepalaku, seberat aku memikirkanmu. Aku hanya berharap, wajahmu selalu penuh dengan senyuman mahalkah : ), seindah purnama malam ini……… Smoga.
© by GJ.
========================================
Pengirim : Gus John
========================================
ceritanya bagus… ^_^