Senyum itu. Akhirnya aku melihat senyum dari bibir yang selama ini aku incar, walaupun senyum itu bukan untukku. Aku hanya melihat dari jarak sekitar tiga meter, jarak yang membuat aku sangat menikmati kecerahan yang terpancar dari wajahnya. Senyum yang kemudian menampilkan deretan gigi gigi putih yang tersusun rapi, yang segera membentuk lesung pipi, senyum yang aku tunggu tunggu hampir satu bulan.
Satu bulan waktu yang cukup lama, tetapi perjuangan untuk mendapatkannya sungguh merupakan proses seperti menunggu Himalaya yang selalu mendapat salju abadi puluhan bahkan ratusan tahun. Pertama kali aku mengetahui Rangga, ketika dia naik ke podium untuk menerima penghargaan atas penelitiannya terhadap lingkungan hidup, tepatnya tiga bulan yang lalu. Selidik punya selidik ternyata Rangga adalah mahasiswa jurusan Biologi yang selalu meneliti hal yang tidak di cermati oleh rekan rekannya, ini membuat Rangga hanyut dalam kesendirian. Tidak banyak yang mengenal Rangga karena kegiatannya hanya berkutat dengan penelitian.
Aku melintasi FPMIPA ketika aku akan menyerahkan tugas kuliah. Dengan tergesa aku menaruh tugas yang aku buat di meja yang paling dekat dengan pintu, tanpa memperhatikan terlebih dahulu segera aku meninggalkan ruangan menuju perpustakaan. Ketika hendak masuk perpustakaan aku melihat orang orang berkumpul di halaman parkir, dengan rasa penasaran aku mengalihkan langkah kaki menuju tempat itu dan aku menemukan seraut wajah dengan senyum merekah menerima penghargaan atas kerja kerasnya. Rangga, seketika itu aku mengetahui namanya. Dan entah mengapa aku selalu merindukan senyuman itu sampai hari ini aku dapat melihatnya kembali.
Senyum� ya senyum yang langsung dapat menjelaskan setiap pribadi tanpa harus berkenalan, senyum yang melukiskan keramahan budi, senyum yang dapat menceriakan hati orang yang melihatnya, setidaknya itu yang aku tangkap dari senyum Rangga. Entah mengapa aku begitu tertarik dengan senyumannya. Senyum yang tidak tergambar dari wajah para mahasiswa di kampus ini, yang sepertinya senyum hanyalah sebuah konteks yang menjadi sel sel paradoks ketika kemajuan suatu lembaga meningkat tanpa memperhatikan kehidupan sosial sebagaimana layaknya.
“Maaf, bisa saya bantu?” seseorang menyadarkan aku.
“Em� ti..tidak terima kasih, maaf kalau saya mengganggu.” Jawabku tergagap ketika seseorang memergoki aku yang sedang memperhatikan Rangga, segera aku meninggalkan tempat itu. laboratorium penelitian yang menjadi tempat asyik bagi Rangga setidaknya tiga bulan terakhir.
“Siang, kali ini bapak akan membagikan tugas kalian yang dikumpulkan tiga bulan yang lalu, sebelumnya bapak minta maaf karena kesibukan bapak yang padat baru kali ini bapak membagikannya.” Suara dosen yang nyaring diruangan yang dapat dikatakan pas pasan untuk jumlah mahasiswa empat puluh tujuh orang.
“Bagus, semuanya mengumpulkan tugas dengan baik dan hasil yang memuaskan. Tapi ada satu orang yang tidak mengumpulkan. Tunggu sebentar Bapak cari namanya.” Dosen itu kembali sibuk mencari cari, sedangkan para mahasiswa sibuk dengan keasyikannya sendiri.
“Intan ”
Namaku disebut, aku kaget bukan main. Aku yang sedari tadi tidak memperhatikan suasana kelas menjadi gelisah, apalagi dosen yang satu ini termasuk dosen yang killer.
“Mana Intan?”
Dengan segenap kekuatan aku berdiri.
“Saya Pak,”
“Mana tugasnya?”
“Sudah saya kumpulkan, satu hari setelah teman teman yang lain mengumpulkan.”
“Setelah satu hari? Kenapa tidak pada waktunya?”
“Tugas saya tertinggal di rumah, jadi keesokan harinya baru saya kumpulkan. Saya letakkan di ruang dosen, saya melihat ada tumpukan tugas lalu saya simpan di situ Pak.”
“Tapi buktinya tidak ada. Begini saja anda dapat mencari tugas yang anda buat di ruangan yang disebutkan tadi, atau juga membuat ulang. Bapak tunggu lima hari lagi, setelah itu tidak ada kesempatan.”
“Baik Pak, terima kasih.” aku duduk dengan hati yang semakin gelisah, tugas yang dibuat dengan susah payah haruskah aku mengulangnya kembali, semua kerja keras dan penelitiannya. Penelitian? Ah seperti yang dilakukan Rangga.
Keesokan harinya, pagi pagi sekali aku bergegas menuju ruang Dosen. Ternyata ruangan itu masih dikunci aku harus menunggu sedangkan kuliah satu jam lagi dimulai. Lima belas menit sebelum kuliah dimulai aku meninggalkan ruangan yang masih terkunci.
“Dari mana kok lesu?” Eka yang sejak tadi memperhatikan aku akhirnya membuang tanda tanya dari hatinya.
“Cari tugas.”
“Tugas? Oh� yang kemarin ya, Ketemu?”
“Ruangannya masih dikunci,”
“Kok tumben biasanya disana jam tujuh tiga puluh sudah dibuka.”
“Aku juga heran.”
“Ya udah sabar aja, yuk masuk.” Aku mencoba berkonsentrasi mengikuti semua mata kuliah, sampai akhirnya aku membuat alasan hendak ke kamar kecil. Dari jauh aku dapat melihat pintu ruangan itu telah terbuka ada seseorang disana. Ternyata hanya seorang pegawai yang sedang membersihkan halaman.
“Permisi, saya mau mencari sesuatu didalam.” Aku memperhatikan bapak itu yang dari tadi sibuk bekerja.
“Silahkan, sebentar lagi saya selesai apa perlu bantuan?”
“Terima kasih, saya akan mencari sendiri.”
Aku mulai mencari seingatku, aku meletakan ditempat dengan benar tapi itu tiga bulan yang lalu pasti semua berkas pasti sudah dipindahkan. Ini hanya membuang waktu, seharusnya aku bertanya mungkin bapak tadi tahu, dan segera keluar untuk menanyakan.
“Permisi Pak,”
“Sudah ketemu yang dicarinya?”
“Belum, mau tanya kalau berkas yang tidak terpakai suka disimpan dimana? Mungkin Bapak bisa bantu saya, saya menyimpan sesuatu tiga bulan yang lalu di meja dekat pintu.” Aku mencoba menjelaskan sebisaku.
“Tiga bulan yang lalu? Lama sekali, mungkin diambil dosen yang bersangkutan kalaupun tidak terpakai biasanya disimpan digudang.” “Gudangnya sebelah mana?”
“Dekat laboratorium Biologi.”
“Terima kasih Pak ” aku segera bergegas menuju laboratorium. kuliahku Ah biarlah. “Laboratorium Biologi” aku membaca tulisan yang terletak dekat pintu masuk. Dimana gudangnya? Aku mencari dan menemukan sebuah ruangan yang di dalam terdapat banyak tumpukan kertas. Tidak ada orang di sana langsung saja aku masuk dan mencari, membolak balik, hingga aku berkeringat, agaknya aku sudah lama disini, aku berfikir, mungkin besok saja aku teruskan. Aku berbalik dan tidak sengaja menabrak lemari karena sinar matahari yang menyilaukan mataku, refleks aku menutup mataku dan mengkibatku tumpukan kertas yang ada di atas lemari berhamburan. Debu membuat gatal hidungku aku sudah tidak tahan lagi dan akhirnya meninggalkan gudang tersebut.
“Haatchiiichh� Ah lega.” Aku melangkah dan lagi lagi aku menabrak seseorang,
“Maaf,” Aku melihat wajah itu. Dia tersenyum.
“Rangga ” Akhirnya dia tersenyum untukku.

Cerpen bigdee

cat:
bigdee adalah nama pena dalam kepenulisan fiksi

========================================
Pengirim : bigdee
========================================

By admin

2 thoughts on “Senyum Rangga”
  1. Good post! I plan to move into this stuff after I’m done with school, as most of it is time consuming. It’s a great post to reference back to. My blog needs more time to gain in popularity anyway.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *