Apakah kau masih akan berkata
kudengar derap jantungmu
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta.
(“Sebuah Tanya”, Karya Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran, Selasa ,1 April 1969)

KEHIDUPAN berjalan seperti puisi. Saya senantiasa berpendapat demikian—meski saya bukan seorang penyair tapi tak lebih hanya penikmat puisi—karena saya melewatkan hari demi hari kehidupan dengan beragam nuansa : terkadang sangat melodramatis, romantis, sentimentil, bahkan lucu. Seperti Puisi.
Saya telah banyak menemui kejadian yang menegaskan fenomena itu. Kemarin, saya mengembalikan dompet seorang ibu yang ketinggalan di taksi saya. Sesungguhnya, saya tidak mengharapkan keuntungan apa apa dari situ, sebab saya tahu, kejujuran dan kepolosan sudah menjadi bagian integral dari jiwa , tubuh dan segenap aktifitas keseharian saya. Kalaupun kemudian, ia dengan ekspresi wajah lega dan ucapan terimakasih tak terhingga, lalu memberikan uang sebagai penghargaan atas”jasa” saya, dan kemudian dengan halus saya menolaknya, itu semata mata karena apa yang telah saya lakukan sudah menjadi tugas saya, komitmen saya untuk menjunjung tinggi “harkat ke supir taksi an” saya. Tak lebih. Lantas, dua minggu lalu, saya menolong seorang korban kecelakaan lalulintas di depan kampus sebuah perguruan tinggi. Saya segera membawanya ke unit gawat darurat Rumah Sakit terdekat, dengan tidak memperhitungkan lagi berapa tarif taksi yang saya dapat peroleh andai saya tetap mengabaikan kejadian itu. Semua terasa seperti tindakan”bawah sadar” yang telah terbentuk sedemikian rupa selama bertahun tahun, sejak ayah almarhum menanamkan nilai nilai kependekaran pesilat kampung dan kearifan petani penggarap. Kejadian kejadian tadi seperti mengguratkan puisi puisi indah dalam hidup saya.

KINI saya kembali menjalani rutinitas saya. Bukan rutinitas yang lazim memang, karena setiap petang tiba, saya menjemput Susan—seorang wanita panggilan “kelas kakap”—yang tinggal disebuah rumah mewah di sebuah kompleks pemukiman real estate, untuk kemudian membawanya kesuatu tempat, dimana saja, yang telah disepakati sebelumnya oleh pelanggan setia saya itu. Ia sudah menyewa taksi saya selama 6 bulan. Jadi pada jam jam tertentu—biasanya petang hari—saya menjemputnya di rumah, membawanya ke suatu tempat yang senantiasa berbeda beda, lantas mengantarnya kembali pulang setelah “bisnis”nya usai pada jam jam tertentu pula.
Susan membayar cukup mahal untuk tugas tersebut. Dan saya menerima itu sebagai bagian tak terpisahkan dari harkat “kesupir taksi an” saya. Saya tidak menganggap itu sebagai kerja yang hina lantaran menerima bayaran dari hasil desah dan keringat maksiat Susan. Ini bagian dari tugas, demikian saya mencari alasan pembenarannya.. Persetan dengan semua anggapan sinis tentang saya. Bagi saya, saya tetap memiliki hak untuk menentukan sikap dan melakukan apa yang terbaik untuk saya. Prinsip sederhana tapi logis.
Sudah empat bulan saya melakukan”tugas rutin” ini. Saya sudah berusaha menghilangkan beban psikologis apapun termasuk perasaan cinta. Saya memang tidak dapat mengingkari kata hati bahwa Susan memang cantik dan saya telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Dengan rambut sebahu, wajah oval proporsional, hidung bangir, kulit putih dan postur tubuh ramping semampai, Susan tampil mempesona mata setiap pria yang melihatnya. Termasuk saya. Sebagai lelaki bujangan dan normal, saya tidak dapat menepis getar getar aneh saat wangi parfumnya yang khas menyerbu hidung ketika ia masuk ke taksi saya. Tapi saya berusaha menekan perasaan itu sekuat kuatnya. Terlebih, ketika muncul rasa cemburu, saat ia digandeng om om kaya yang lebih pantas menjadi ayahnya. Saya seyogyanya harus menempatkan diri pada posisi yang benar : ia adalah pelanggan dan saya hanya supir taksi. Saya mematuhi “rambu rambu” itu secara konsisten.
Percakapan kamipun, baik ketika pergi maupun pulang, biasa biasa saja. Tak ada yang istimewa. Bahkan nyaris bersifat rutin. Saya berusaha menjaga jarak dengan Susan agar tidak terlibat lebih jauh ke masalah yang sifatnya terlalu pribadi. Namun belakangan ini sudah ada sedikit”peningkatan kualitas pembicaraan”. Tidak hanya sekedar, “Mau kemana ?” atau “Jam berapa mau dijemput ?”, dan sebagainya. Susan mulai menanyakan latar belakang pribadi saya hingga menanyakan ada berapa jumlah penumpang di taksi saya untuk hari ini. Saya gembira pada perkembangan menarik ini. Mulanya saya agak rikuh tapi perlahan saya mulai dapat menyesuaikan diri dan menjadi pembicara ataupun pendengar yang baik.
Hubungan emosional kamipun berlangsung hangat. Susan pun tak canggung canggung mengungkap riwayat hidupnya pada saya. Ia ternyata produk keluarga broken home. Ketika ayah dan ibunya bercerai, ia minggat. Ia tidak tahan dan prihatin dengan kondisi seperti itu. Iapun tidak peduli pada siapapun, termasuk kakak maupun adiknya. Saya harus terus hidup dan berjuang, kata Susan menetapkan hati.Tanpa disadarinya, ia terjerumus ke lembah nista. Kehidupan malam dan hingar bingar pesta, sepertinya memberikan keleluasaan baru dan ia bagai memperoleh jati diri disana. Susan akhirnya jadi primadona di sebuah Diskotek ternama yang tak lain sebagai kedok ajang prostitusi kelas atas. Nama Susan melambung tinggi sejak itu. Hampir semua lelaki yang mampir di diskotek itu siap melakukan apapun asal Susan mau berkencan dengan mereka. Pada akhirnya, Susan kemudian menjadi “istri peliharaan” seorang direktur di kota ini,dengan tip dan bayaran yang sangat besar plus rumah mewah komplit segala isinya. . Sang Direktur hanya datang pada waktu waktu tertentu saja untuk menemui Susan. Meskipun begitu, profesinya tak juga ditinggalkan. Ia menjadi wanita panggilan untuk “kalangan elit”.
“Saya menyukai pekerjaan ini”, katanya suatu ketika. Suaranya terdengar serak, terkesan dipaksakan. Saya melirik melalui kaca spion, ia duduk santai dibelakang, menyelonjorkan kaki dan menyalakan rokok.. Saya tersenyum dan kembali mengalihkan pandangan ke depan. Ia tak menjelaskan lebih jauh pernyataan yag telah dikeluarkan. Hanya kepalanya terangguk angguk pelan menikmati lagu melankolis “When A Man Loves A Woman”nya Michael Bolton yang mengalun dari tape recorder taksi saya..
“Hey , Hamzah. Kamu sudah punya pacar belum ?” tanyanya tiba tiba. Saya gelagapan dan agak kehilangan konsentrasi mengemudi.
“Belum”, saya menjawab tersipu. Sebuah jawaban yang jujur. Saya akui, saya bukan type lelaki yang dapat dengan mudah membina hubungan cinta dengan wanita. Saya memiliki selera perfeksionis, tapi tak pernah punya cukup keberanian untuk menerapkannya lebih jauh.
Susan terkekeh. Ia menghirup rokoknya dalam dalam. Rimbun asapnya mengepul ngepul, memenuhi kabin taksi. Saya menelan ludah.
“Kalau Susan sendiri bagaimana ?”, saya balik bertanya.
“Kamu tahu sendiri kan’ ?. Banyak. Banyak sekali,” sahut Susan. Suaranya terdengar hambar. Kedengarannya ia seperti melontarkan sebuah lelucon. Atau apologi ?. Saya tak tahu.
“Banyak memang. Tapi hampa”, saya menanggapi dengan getir.
Untuk beberapa saat Susan terdiam. Ia mematikan rokoknya, lalu merenung. Lama. Hanya deru mesin mobil dan getar alat air conditioner (AC) taksi terdengar. Lalu lintas di larut malam itu memang telah sepi. Sebagian lampu jalan telah dipadamkan. Saya tiba tiba menyadari kecerobohan dan kelancangan saya.
“Maafkan saya, Susan. Saya….”
“Tidak apa apa, Hamzah. Kamu benar. Mereka hampa. Cuma punya tubuh dan nafsu. Bukan jiwa dan cinta,” tutur Susan lirih. Saya menghela nafas panjang. Dada saya terasa sesak.
“Hidup menawarkan banyak pilihan, Susan”
“Tapi saya tak punya pilihan ”, sangkal Susan. Nada suaranya meninggi. Saya berusaha menenangkan diri.
“Kearifan menyikapi dengan landasan moral, itu kunci untuk memilih. Kita memang tak akan pernah tahu apakah pilihan hidup kita sudah tepat. Tapi setidaknya, kita mesti punya pegangan yang kokoh untuk menentukan kemana kita mesti melangkah ,” saya berkata lembut. Terdengar nafas berat Susan dibelakang. Suasana terkesan kering dan kaku. Kami tak bercakap cakap lagi hingga saya mengantarnya ke gerbang depan rumahnya. Ia hanya mengucapkan “Selamat malam. Sampai jumpa besok sore”. Saya pulang ke rumah dengan rasa bersalah yang bertumpuk.
Sekarang, saya kembali menjemputnya seperti biasa pada waktu dan tempat yang sama. Kekakuan komunikasi akibat “insiden” tempo hari telah lenyap. Sayapun berusaha untuk lebih hati hati. menjaga perasaannya.
“Apa kamu tidak bosan dengan rutinitas seperti ini, Susan ?”, saya membuka percakapan, pada hari terakhir kontrak sewa saya dengan Susan.
“Apa kamu punya ide yang baik ?”, ia balas bertanya.
“Yaa..misalnya menempuh rutinitas yang baru. Kawin dengan lelaki yang mampu memberi nafkah cukup lahir batin—tidak sekedar limpahan materi yang semu belaka, hidup bahagia, punya anak dan menikmati kehidupan”, saya mengucapkan kalimat tersebut sesantai mungkin. Tanpa beban. Saya ingin mendengar pendapatnya mengenai hal ini.
Sejenak Susan terdiam. Saya kembali melirik kebelakang lewat kaca spion mobil. Susan terlihat sangat cantik. Parasnya yang memukau seperti bercahaya. Ia melepas pandang ke luar melalui kaca jendela taksi yang buram. Seperti memikirkan sesuatu.
“Itu angan angan yang terlalu ideal, Hamzah” jawabnya, akhirnya.
“Jangan melihat ini sebagai sesuatu yang naif, Susan. Saya rasa pendapat saya cukup realistis. Tidak mengada ada. Setiap orang, baik lelaki maupun wanita, pasti pernah berfikir mengenai hal itu : Kebahagiaan hidup berkeluarga. Semuanya akan kembali pada prinsip dan keinginan orang yang bersangkutan, sepanjang ia sadar dan yakin hal itu bakal memberikan ketentraman bagi jiwanya, hatinya dan segenap aktifitas kesehariannya”, saya mencoba melontarkan argumen.
“Kita punya takaran penilaian yang berbeda, Hamzah. Tak akan bisa bertemu. Jangan terlalu banyak bermimpi. Kita hidup berada dalam kemungkinan kemungkinan. Apa yang bakal terjadi kemudian, kita tak bisa menebak. Dan itu sering tidak persis sama seperti yang kita bayangkan,”ujar Susan lirih dengan bibir bergetar. Saya menarik nafas. Putus asa.
“Apakah Susan menganggap bahwa lakon hidup yang Susan lakukan selama ini sama persis seperti yang Susan bayangkan sebelumnya ?”
“Memang tidak sama, Hamzah. Bahkan sangat jauh berbeda. Saya tidak pernah mengimpikan menjalani kehidupan seperti ini. Tapi, bukankah ini bagian dari kemungkinan kemungkinan hidup ?. Tidak berarti saya mengatakan bahwa saya menolak kehidupan berkeluarga. Saya bukan orang yang munafik, Hamzah. Saya tetap mendambakan seorang suami yang dapat menyayangi dan memanjakan saya serta anak sebagai tambatan hati. Namun, kalau saya telah menemukan ketenangan pada profesi yang saya lakoni saat ini , bagi saya bukanlah suatu pilihan yang keliru. Setiap orang memiliki cara masing masing untuk memaknai hidupnya”.
“Apa Susan merasa bahagia dengan memaknai hidup dengan jalan ini ?”
“Saya tak bisa menjawabnya, Hamzah. Kamu tidak akan pernah tahu ukuran dan nilai kebahagiaan bagi saya seperti apa. Begitu pula sebaliknya. Kita punya “nilai rasa” yang berbeda dalam menakar kebahagiaan”, Susan bertutur pelan dengan tidak mengalihkan pandangan kearah luar taksi.
Saya terdiam. Saya tak bisa berkata apa apa lagi. Saya sadar, Susan cukup konsisten memegang prinsipnya.
Mendadak, kesedihan merambah dalam hati saya. Hari ini adalah hari terakhir saya bersama Susan. Besok, Susan akan berangkat berlibur ke Singapura dan Australia mendampingi sang Direktur selama sebulan. Saya tidak tahu apakah Susan akan menyewa “jasa” saya lagi kelak. Bagi saya itu tidak penting. Kebersamaan dengan Susan selama ini, tanpa sadar membangkitkan rasa cinta dan keinginan melindungi dalam hati saya. Saya merindukan dia. Melalui kaca spion mobil, saya melirik Susan. Ia begitu cantik, sangat cantik., saya membatin sekaligus nelangsa.
Kami telah sampai ke tujuan. Saya segera mematikan mesin mobil dan mengumpulkan segenap keberanian yang ada. Susan baru saja hendak membuka handle pintu belakang ketika saya berseru.
“Susan, tunggu ”
Ia mengurungkan niatnya dan memandang saya. Matanya bertanya. Dada saya berdegup kencang.
“Saya mencintai kamu, Susan,” saya mengungkapkannya dengan tenggorokan tercekat. Susan menatap tak percaya. Saya segera meraih tangannya. Meraba jemarinya yang halus. Mengalirkan keyakinan.
“Hentikan semua ini, Susan. Kamu seharusnya hidup lebih layak, terhormat dan bernilai. Apa yang kamu lakuan selama ini hanya akan membuat hidupmu didera kesalahan dan dosa. Hiduplah dengan saya. Kita kawin. Saya berjanji akan membahagiakan kamu”.
Susan menggigit bibir. Ia tampaknya memikirkan sesuatu. Saya merasa cemas. Saya sudah menabah nabahkan hati untuk siap menerima kemungkinan terburuk. Saya memandang Susan dengan tajam. Penuh harap.
Susan tersenyum. Ia mempererat genggaman tangan saya. Tatapan matanya seperti menyiratkan sesuatu. Sangat misterius.
“Saya memang harus menentukan pilihan, pada akhirnya. Tapi kita hidup dalam dunia yang berbeda, Hamzah. Kamu tak akan bisa memahami saya, seperti sayapun tak bisa memahami kamu. Terimakasih atas ketulusan tawaranmu. Saya menghargainya . Biarkan saya memilih dan melewati jalan yang menurut saya terbaik. Ma’afkan saya. Selamat tinggal”, Susan mengucapkannya dengan bibir bergetar. Pelupuk matanya basah. Disekanya cepat cepat, lalu membuka handle pintu tergesa gesa dan pergi. Saya tak bisa mencegahnya lagi. Saya hanya sempat memandangi punggungnya serta gaunnya yang berkibar ditiup angin senja, untuk terakhir kali, dengan pandangan kosong. Terasa ada yang hilang dalam diri saya, sesuatu yang tak dapat saya ungkapkan bagaimana adanya. Yang pasti, saya seperti telah mencipta “Puisi” baru dalam lakon hidup saya. Samar samar saya mengingat sebait syair bagus :

Lihatlah gadis yang berjalan sendiri di pinggir sungai
Lihatlah rambutnya yang panjang
dan gaunnya yang kuning bernyanyi bersama angin
Cerah matanya seperti matahari
seperti pohon pohon trembesi
Wahai, cobalah tebak kemana langkahnya pergi
(“Gadis dan Sungai”, karya Emha Ainun Nadjib dari buku “Sesobek Buku Harian Indonesia)

OLEH : AMRIL TAUFIQ GOBEL

========================================
Pengirim : AMRIL TAUFIQ GOBEL / amriltgobel
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *