Keras pintu diketuk. Jam berapa ini? Sial Masih subuh. Sinar matahari belum lagi menjilat kaca jendela kamarku.
Dok Dok Dok
Semakin keras orang sialan yang tak tahu diri itu menggedor pintu rumahku. Berat rasanya kepalaku saat kupaksa meninggalkan bantal hangat di tempatku. Sempat tersaruk saruk beberapa kali saat keluar dari kamar, di depan kamar mandi, dan saat melintas di ruang tamu, aku akhirnya sampai di pintu.
Dok Dok Dok
Dok Dok Dok
Kesadaranku tercambuk. Kubuka pintu dengan cepat. Teramat cepat buat orang sepertiku, yang memiliki jantung dan paru paru yang dikarati nikotin dan tar.
Tak ada siapa siapa. Tak ada siapa siapa? Ya, tak ada siapa siapa Gila Mana mungkin ada orang yang bisa langsung menghilang dari pintuku dalam hitungan detik seperti itu. Mustahil. Mustahil
Kakiku menginjak sesuatu saat menjejak keset di muka pintu. Di atas keset berwarna biru yang bertuliskan �welcome� (tulisan yang ada di semua keset di rumah mana pun, yang membuatku makin yakin bahwa manusia, termasuk aku, adalah makhluk yang sangat membosankan dan steril dari imajinasi) itu kulihat sehelai amplop tipis. Amplop yang dapat kita temui di warung dan toko mana pun di dunia. Ukurannya standar dan seragam. Bentuknya pun persis sama. Motifnya pun jelas jelas merupakan hasil mesin penumpul kreasi.
Kujumput amplop itu, kuperkosa dan kukeluarkan isinya. Sehelai kertas putih, yang lagi lagi bisa kutemukan di toko mana pun, berisi beberapa baris tulisan, tang diketik menggunakan mesin tik yang juga bisa kutemui di toko mana pun di bumi ini.

�Jangan pernah menantang angin dan matahari. Matahari hijau bisa menjadi sangat hangat dan menyenangkan, sedangkan angin bisa menjadi sangat semilir dan menyejukkan.. Jangan buat mereka panas mendidih atau mengamuk berputar putar. Percaya jugalah, teman, bahwa bulan kita memang biru. Terima apa yang ada. Ikuti mau mereka. Ini toh bukan surga….�

Apa ini? Puisi? Pepatah? Ujar ujar? Nasihat? Tampaknya iya. Ini nasihat. Siapa pula orang jenius yang rela mengetuk pintuku di pagi pekat seperti ini, menggedor pintuku seperti buldozer, dan memberikan baris baris nasihat bodoh ini?
Gila Aku harus kehilangan tidur nikmatku hanya untuk diberi nasihat. Sialan

Dok Dok Dok
Aku tiba tiba terduduk. Tidurku lenyap. Pandanganku kabur. Aku rasanya tak percaya pada pendengaranku.
Dok Dok Dok
Gila telingaku tak bohong. Pintu itu digedor lagi Kunyuk Pasti orang yang kemarin. Pasti si jenius itu. Tanpa tersaruk saruk lagi, aku berkelebat menuju pintu. Luar biasa Hanya dalam hitungan sekon�yang kata beberapa ahli lebih cepat dari detik aku sampai di sana dan membuka lembar kokoh papan kayu mahoni itu. Lagi, tak ada siapa siapa. Tak ada? Ya, Tak ada
Selayaknya makhluk membosankan lain, aku otomatis menukikkan pandangan ke keset, di mana kemarin selembar surat diletakkan oleh si jenius. Aha Surat lagi

Kuhenyakkan bokongku di sofa tuaku�yang kata pacarku merupakan asbak terbesar di dunia�dengan tak sabar. Kali ini amplop itu kuperkosa lebih ganas. Kucabik cabik menjadi kepingan kepingan putih yang langsung teronggok di atas meja.
Surat lagi. Dari si bedebah jenius itu lagi tampaknya. Beberapa baris lagi.

�Jangan coba alirkan air ke tempat yang lebih tinggi. Bukan begitu air menjalani takdirnya. Jangan coba buat bulan lebih terang dari matahari. Jangan pula katakan bahwa bulan itu putih dan matahari itu kuning. Bukan begitu takdirnya. Garib sekali jika bulan menang terang atas matahari. Biarkan air terus di bawah dan bulan tetap redup. Sudah seharusnya mereka begitu.�

Bah Petuah lagi. Malaikat pemberi nasihatkah dia? Tak punya pekerjaan lainkah si monyet ini selain memberi nasihat nasihat tak perlu di pagi buta?
Kali ini aku tak tidur lagi. Keanehan si gila ini sontak menghapus kantukku. Sambil menghirup kopi kental dan membiarkan tar menghangatkan aliran darahku, kupandangi surat itu sekali lagi. Semua terlihat biasa dan normal. Tak ada salah eja atau kesalahan penggunaan tanda baca. Kertasnya pun biasa. Tak ada yang istimewa seperti kop, tanda tangan, logo, atau watermark. Semua biasa. Datar. Membosankan. Sama sekali tak mencerminkan pergolakan. Tenang. Datar. Statis.
Ah, gila

Si jenius keparat itu benar benar menjengkelkan. Bukan hanya di pagi pekat dia datang. Di siang hari pun surat surat itu datang. Bahkan begitu juga di sore hari. Lama lama, surat surat datang di antara pagi dan siang juga, di antara siang dan sore, di antara sore, dan malam, dan di antara malam dan pagi pula. Nasihat nasihat sialan itu selalu ada di keset depan pintuku tiap kali aku membuka pintu. Sepuluh kali aku buka pintu itu, sepuluh surat mencolok mataku. Seribu kali kubuka pintu, seribu pula surat yang menyerangku.

�Kau benar benar bergajul. Kau pertanyakan alir angin dan air. Kau pikirkan pula gumpalan awan awan di langit. Apa yang ada di kepala kecilmu? Tak bisakah kau jalani takdirmu seperti manusia lain?�

Dia mulai menyebutku �bergajul�. Di surat lain dia panggil aku �berandal� dan �gembel� Kurang ajar

Di hari lain:

�Hai bedebah. Kau benar benar berpikiran gabuk dan majal. Kau tak sadari betapa garib alir pikiranmu. Kau sok tahu. Angin ya tetap akan mengalir begitu dan matahari akan tetap seterang itu saat bulan seredup itu. Jangan kau harap semua seimbang sempurna. INI DUNIA, BUKAN SURGA Ingat juga monyong: langit kita kuning �

Bah Dia mulai menghina. Keparat penasihat dan pemberi ujar ujar pengecut ini telah menghinaku. Pertama dia membujuk. Tak mempan, dia kini menghina. Apa yang akan dilakukannya nanti berikutnya?

�Anjing buduk Tak kau hentikan pikiranmu, akan ku pecahkan kepalamu hingga tubuh ringkihmu tergelintang dikerumuni cacing. Kami mulai muak dengan pikiranmu yang kerap mengempar, mengemol ketenangan takdir. Ke mana pun kau melangkah, kau harus mulai berhati hati, keparat �

Aha Dia mulai mengancam. Kami? Dia menyebut kami? Banyak mereka rupanya. Bukan satu yang mengirim petuah dan ancaman keparat ini. Banyak rupanya. Setan alas Seberapa banyak mereka? Aku tak peduli Seribu orang pun akan kulibas

Kian lama, surat surat itu tak hanya kutemui di atas keset di depan pintuku. Saat aku di kamar mandi, ketika aku menunggu bus di halte, waktu aku memasuki selasar pasar hiper, saat aku antre di apotek…pokoknya di mana mana lipatan amplop surat yang menghujatku selalu kutemui. Keparat Seisi kota ini telah bersekongkol mengutuk pikiranku. Mungkin bahkan seisi negara ini. Tidak, mungkin seisi dunia

Angin mengalir lambat. Daun daun bergoyang manja di ranting ranting yang tampak kokoh coklat gemilap. Permukaan danau sangat tenang, bening seperti kristal kelas satu.

Aku sedang berduaan dengan wanitaku. Sudah lama kami tak berduaan seperti ini. Kesibukan kota barbar yang modern telah merampok waktu kami dan memperkosa momen momen kemanusiaan kami. Di pondok di tepi danau ini kami berharap dapat me recharge kemanusiaan itu.

Telah puluhan kali ia tenggelam dalam pelukanku. Telah ribuan kecupan kuhujankan padanya sejak kita tiba di sini. Dia seperti tak pernah berhenti menagih cumbuan cumbuanku, seperti saat ini. Ia sudah menenggelamkan tubuh indahnya di pangkuanku.

�Alferro ku sayang….�
Kemanjaannya yang terbungkus kelembutan ujung jemari dan bibirnya mengusap leher dan daguku.
�Kapan kau akan menikahiku?�
Jemarinya mulai menggelitiki telingaku.
�Secepatnya sayang. Secepatnya.�
�Benar?� Dia menatapku dengan mata mungil berbinarnya. Mata itu tampak hijau menyejukkan. Dia memang cahaya hidupku. Ribuan orang boleh mengutukku. Selama aku memiliki wanita ini, aku akan baik baik saja.
�Tapi….� Pandangannya terlempar ke tengah danau. Kegalauan menyelimuti keputihan kecantikannya. Matanya diempohi kerisauan yang keruh. Ah….
Kurengkuh lagi pinggangnya dan kutubrukkan pandangannya pada tatapanku.
� Apa yang bisa membuatmu galau saat aku ada di sini, di sampingmu?�
Ia tidak menjawab. Pandangannya terlempar lagi. Kali ini ke arah gundukan tanah berumput di tepi danau.
�Aku ingin memiliki hidup yang normal, Alferro.� Kalimat itu meluncur setelah kubiarkan ia tenggelam dalam keheningan beberapa saat.
Normal? Aku tak mengerti.
�Aku ingin kau mengatakan padaku sekarang bahwa langit itu kuning, bulan itu biru, dan matahari itu hijau. Aku ingin kau biarkan air mengalir ke bawah dan bulan lebih redup dari matahari. Aku ingin….�
Ucapannya terhenti karena aku kini telah berdiri, menghenyakkan tubuhnya di kursi. Aku tak percaya apa yang kudengar.
�Dengar, Alferro sayang…Mereka benar. Langit kita ini kuning, dan memang sudah seharusnya begitu.�
Apa?
�Sudah seperti itu matahari, bulan, air, dan angin sejak zaman kakekku dan kakekmu.�
Hah?
�Sibukkan dirimu dengan mencintaiku. Tak perlu kau kutuki ini semua. Aku tak mau aku, kau, dan anak anak kita dibenci banyak orang. �
HAH
Gila Ini gila Ini benar benar sinting. Permata jiwaku….dia adalah mereka? Ah, sinting. Aku tak dapat berpikir lagi. Dadaku tiba tiba tertohok. Terpukul. Matahari tiba tiba menjadi hijau dan langit menjadi kuning. Aku tak dapat berpikir lagi. Sesak. Semua sesak. Udara tiba tiba menghilang. Aku sesak.
GILA

========================================
Pengirim : A.L. Janto
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *