Alunan sendu apakah yang terdengar itu. Dari atas jembatan tua ini sayup sayup irama lagu gregorian menggema dari perkampungan Oberkirchen. Gelak tawa petani petani kentang sontak terhenti, serentak berlabuh dalam dermaga irama kesedihan. Menerka nerka siapakah yang terjemput maut. Lengang jalanan di musim gugur mengabadikan kepedihan yang mendalam teriring daun daun yang berguguran.

Awan di atas Oberkirchen bagaikan bidadari berjubah hitam yang sedang menangis dan air matanya jatuh di atas bangunan tua yang lalu mendentangkan nyanyi sepi. Oh..Oberkirchen mengapa kau lupakan sorak sorai kemenangan kita melawan kepongahan Hitler tempo dulu. Janganlah kini kau diperhamba oleh sesalmu. Mengapa wajah kotamu tidak berseri menyaksikan hidup yang fana ini. Bukankah setiap kita akan mati ? Lihat saja ratusan wajah wajah keriput yang berpacak di ladang kentang itu. Esok, lusa atau mungkin malam ini, kematian akan menjemput mereka. Jangan tanya mengapa harus ada kematian, tanya saja mengapa ada kehidupan.

Namun, Pertanda apakah ratusan burung gagak hinggap di atap Totenkapelle . Apakah untuk menghibur kesendirian dan kesepian Aisye? Ataukah hendak berbenah diri untuk berperang, bersama jiwa Aisye yang kesepian mengamuk dan membabat habis warga Oberkirchen yang tak peduli dengan kematiannya. Sudah bertahun tahun, sudah berabad abad lamanya warga Oberkirchen menyambut kematian tanpa tangis.

Kematian bukanlah akhir segala galanya, mengapa harus ditangisi. Kematian manusia adalah awal kehidupan baru, menganyam persatuan bersama �Sang Ada Ilahi. Mengapa harus ada tangis ? Apakah tangis akan memanggil kembali setiap jiwa yang telah meninggalkan badan ? Tangis tak akan menyelesaikan masalah bagi hidup yang sarat duka. Akan tiba waktunya saat harus sadar bahwa raga yang fana ini harus tiada. Saat jiwa harus kembali ke pangkuan �Sang Ada� Yang Mencipta, sujud berbakti dalam ruang dan waktu yang tak terbatas. Saat itulah saat harus menyadari bahwa kematian tidak perlu ditangisi.

Sebagai warga bangsa timur jauh, terpampang dalam layar pikiran pertanyaan pertanyaan ganjil, mengiringku untuk segera memaknai. Akan tetapi, pikiran lekas melayang mengenang kematian Tante Yanti di Yogyakarta tiga tahun yang lalu. Kematian itu menyakitkan. Genangan air mata tertumpah dari sudut mata para pelayat yang tak kuasa menahan kesedihan yang mendalam. Paman Kirjito tak kuasa menghadapi kematian isterinya. Setiap kali menatap wajah pucat jenasah Tante Yanti, beberapa saat kemudian ia jatuh tersungkur dan tak sadarkan diri. Jerit tangis kepiluan memenuhi ruang tamu yang sempit, sehingga setiap pelayat yang baru datang akan segera menghirup aroma kesedihan dan tak lama kemudian terbawa dalam alam kesedihan, menangislah mereka sejadi jadinya. Kematian itu menghadirkan tangis. Kematian dan tangis adalah sahabat abadi. Kematian tanpa tangis adalah kehidupan tanpa kata kata, kebahagiaan tanpa tawa ria. Kelahiran disambut dengan pesta pora yang meriah. Kematian dihantar dengan pesta duka jerit tangis, mungkin sambil mengutuk Sang Ada� Yang Mahakuasa karena tidak adil. Dimanakah gudang tangis tersembunyi, di situ jiwa yang terluka.Tangis adalah bahasa duka yang tercipta kala duka melanda sekaligus bahasa cinta kala ada duka memisahkan seseorang dengan yang dicinta.

Paman Kirjito kehilangan orang yang sangat dicintainnya sekaligus belahan jiwanya. Ia tak kuasa menyambut dewi kematian yang menjemput isterinya tanpa tangis dan air mata. Ia merasa dalam kesendirian mengarungi kehidupan ini. Tapi, bukankah kematian Aisye juga meninggalkan Erkart tercinta di kampung Oberkirchen? Tidak adakah air mata yang tersisa untuk mengiring kepergian Aisye? Erkart, mengapa Kau hanya termenung saja menatap kematian Aisye? Engkau masih muda, air matamu masih menggenang di danau matamu. Mana tangismu Kutunggu tangismu kini. Jane…..tidak adakah benang cinta antara Kau dan Aisye.

Penantian yang sia sia. Pengharapan yang tak berujung pada pemenuhan harapan. Aku segera berlari ke Totenkapelle. Aku hendak menghibur jiwa Aisye yang kesepian. Menghadiahkan kepadanya tangis duka yang mendalam atas akhir hidupnya di dunia ini. Pertemuan yang teramat singkat, Aisye, namun menyisakan makna abadi bahwa Kau tidaklah seperti warga Oberkirchen yang lain. Terbayang selalu kala ditinggal ibunda tercinta, Kau meratapinya dengan lengkingan tangis dan air mata. Kau berlari berkilo kilo meter melewati pepohonan yang meranggas di akhir musim gugur, menerjang serangan angin dingin awal musim winter tanpa mantel. Berlari keliling kampung dalam derai air mata. Namun tak seorang pun peduli. Malahan, mereka menganggapmu cengeng. Salah didik. Mereka merasa gagal dalam mendidikmu. Selalu terucap mengapa kematianmu harus ditangisi dan disesali. Bukankah setiap kita akan mengalaminya.

Aku tahu Aisye. Kini Kau merindu tangis untuk kepergianmu. Janganlah merasa terasing dan terkucil, Aisye, lihatlah tangis langit menyemarakkan pesta duka atas kematianmu. Jerit pepohonan yang meranggas menyatu dengan kidung dukaku. Kini Kau kuiring dengan pesta duka jerit tangis. Kematianmu kini adalah perjalanan hidup baru yang menyisakan kenangan dalam diriku. Tangisku adalah tangis seorang sahabat sejati dalam rentangan waktu yang tak terhingga demi kenangan kita. Tapi biarlah Aisye, mereka gamang untuk mengerti kepedihanku. Namun, mereka akan segera tahu bahwa aku mencintaimu dan sangat kehilangan dirimu.

Dalam bangunan tua ini kini Kau terbaring, Aisye. Sudah tiga hari lamanya Kau menyepi. Tak ada seorang pun yang menemanimu. Membiarkan Kau seorang diri dalam kepekatan malam abadi. Di siang hari tak ada lubang cahaya dan di malam hari tak ada cahaya terjelma. Cahaya matahari tak mampu menembus kegelapan hati mereka dan rembulan enggan singgah di Oberkirchen. Kata mereka cukup dipersembahkan kepadamu ayat, �Ich bin der Weg und die Wahrheit und das Leben; niemand kommt zum Vater au�er durch mich�, yang memang sudah terpampang di dinding Totenkapelle sejak dulu kala.

Setelah berhari hari lamanya menunggu kemauan warga Oberkirchen mengembalikanmu kepada tanah, saatnya kini hampir tiba. Tak lama lagi Kau akan berperang tanpaku melawan keganasan mahkuk makluk tanah. Kau akan segera lenyap ditelan bumi, namun percayalah bumi tak akan mampu menghapus untaian kenangan kita.

� Erkart, segeralah menangis untuk Aisye tercinta.�

�Mengapa aku harus menangis, � jawab Erkart sambil meletakkan setangkai
bunga mawar di samping peti. Lalu mengambil posisi berdiri di samping Jane, kakak Aisye. Menghindari sejauh mungkin setiap tatapan mataku yang mencecarnya, meski aku tahu bahwa setia kali pula ia berusaha mencuri pandang padaku ketika aku lengah. Adakah tangis dalam kepedihan bersama Jane, itulah yang aku nantikan. Dua sosok mematung dengan tatapan kosong. Sosok sosok yang tak ubahnya patung batu, menelantarkan siang dalam gulita malam. Wahai…tangis datanglah segera. Dimanakah kau terpenjara, biarkan aku membebaskanmu. Mengucurlah segera dari kelopak mereka. Mengapa duka ini tak mampu mengundangmu. Ah…,Terlalu naif harapan harapan kulambungkan kepada kepada penguasa langit mendung.

Warga kampung Oberkirchen mulai berdatangan. Setelah sujud memberi penghormatan terakhir di depan peti mayat, ratusan pelayat bermantel hitam dengan tertip berjajar di pinggir jalan yang akan di lalui rombongan pengangkut jenasah dengan Totenbahre tanpa karangan bunga. Tak ada pancaran kesedihan dari raut wajah mereka. Kepedihan hanya singgah pada mantel dan jas yang berwarna hitam, karena itu sudah cukup bagi mereka untuk kepergian seorang Aisye. Wajah wajah yang angkuh, seangkuh pinus dan cemara yang tetap tegar di musim gugur. Tegar membisu dan dengan tatapan mata yang tajam mengamati setiap langkah para pengangkut peti mayat, tanpa menghiraukan nyanyian dukaku.

Tapi Aisye, tetap tataplah pada kepedihan pepohonan yang meranggas itu dan gagak gagak hitam yang bertengger di atap Totenkapelle itu. Rasakanlah dinginnya angin awal musim dingin. Angin yang menghantarmu pada tangis pilumu dulu. Rasakanlah kehadiran tangismu yang Kau peruntukkan buat Ibundamu tercinta dulu, yang nyatanya masih tersisa buatmu seorang dan kini dibawa oleh angin kepadamu. Meski Kau telah mendekati liang kubur, jangan tanya mengapa belum terdengar tangis duka dari mereka. Terlampau dini melambungkan syair pengharapan dalam kepongahan hati manusia.

Oooh, Aisye,….. Jangan katakan Kau takut menghadapi bala tentara bumi. Ini kubawakan pedang yang tajam untukmu berupa kenangan kenangan kemenanganmu mengarungi dunia. Maafkan aku Aisye, lengkingan tangisku sampai detik ini tak mampu menggoyahkan keangkuhan warga Oberkirchen. Mereka malah semakin tegar menjelang peti matimu masuk ke liang kubur. Sepertinya mereka hendak berteriak, pergilah segera Kau ke liang kubur untuk menjadi santapan cacing dan hewan pemakan bangkai.

Akan kemanakah jasa jasamu tersembunyi selain dalam puri batinku. Adakah sekotak peti untuk jasa baikmu di Oberkirchen. Di kedalaman relung hati Erkart ? Jane…… bertahun tahun lamanya Kau hidup bersama, mengapa tak Kau persiapkan gudang kenangan yang terukir indah bagi adikmu. Apa arti kebersamaanmu selama ini ?

Inilah detik detik terakhirmu diselimuti langit dalam ruang dunia manusia, Aisye. Ingin rasanya kumaki wajah wajah angkuh yang mengelilingiku, karena tak seorang pun sampai saat terakir menghadiahkan kepadamu setetes air mata tuk melumat dahagamu dalam perjalanan kesendirianmu ini, tak ada kesedihan yang mengendon dalam nurani mereka yang akan menjadi peluru peluru tajam. Aku tahu Kau butuh peluru peluru kemenangan dalam kenangan mereka, yang akan menemanimu berjuang dan sekaligus meyakinkanmu bahwa Kau adalah seorang panglima perang yang membawa beribu ribu laskar pilihan.

Aisye, kini kau telah ditelan bumi, yang ada tinggal rajutan kenangan yang akan selalu kugendong kemanapun angin meniupku. Senyatanya memang tiada tangis tersaji mengiring kepergianmu. Tiada cucuran air mata untuk jasa jasamu.

Tiga tahun telah berlalu. Angin membawaku kembali ke Oberkirchen pada akhir musim dingin. Bukan untuk menggauli kenangan bersama Aisye, melainkan karna ada nyanyian dan tarian duka yang menyeretku untuk segera kembali. Nyanyian dan tarian duka yang berasal dari kuburan.

� Erkart, mengapa Engkau menangis? �

� Aisye,….Aisye….. datang kepadaku �.

� Apa……..?� tanyaku penuh keheranan, � Aisye telah tiada, Erkart �

� Ya,….tapi,….. mengapa,….mengapa aku tak mampu membunuh kenanganku bersamanya ?� tanya Erkart seraya menyeka linangan air matanya.

Oh…Oberkirchen, Aisye memang telah pergi bersama angin awal musim dingin tiga tahun lalu, di penghujung musim dingin ini janganlah bertanya mengapa ia kembali. Ia mendamba tangis dukamu karena kenanganmu bersamanya di medan perang tak terhapus olehmu.

� Sia sialah Kau berusaha membunuh kenangan, Erkart .�

� Dan untuk kenangankah Engkau kembali ?� tanya Erkart.

� Tidak ….., tapi…….�

� Atas nama cinta, Engkau akan bertanya lagi mengapa tidak ada tangis kami untuk kematian Aisye waktu itu. Hei::… Kamu pencuri perawan bertunangan, ketahuilah bahwa sesungguhnya waktu itu kami tidak menghendaki anak gadis kampung kami menikah dengan orang asing yang diperbudak perasaan sepertimu. Namun, kini kusadari ternyata Kamu benar, tangis adalah bahasa cinta kala duka melanda. Rajutan kenanganku bersamanya kini melahirkan tangisku.�

Suasana menjadi hening mencekam. Hanya sesekali terdengar desiran angin yang membelai ranting ranting kering. Erkart menghela nafas panjang beberapa kali, sementara aku diam membisu

Sankt Augustin, 2003

1 Oberkirchen adalah sebuah kampung indah yang memiliki jembatan tinggi nan elok, terletak di daerah St. Wendel, Saarland, Jerman, namun tampak keriput ketika musim gugur seperti halnya kampung lain di Eropa.

2 Die Totenkapelle adalah kapel (gereja kecil) untuk orang mati. Kebanyakan Die Totenkapelle dibangun di lokasi kuburan (tempat pemakaman). Di tempat ini biasanya mayat disemayamkan untuk sementara sebelum dikubur untuk beberapa hari ( minimal 3 hari) tanpa seorang pun yang menunggu. Mengapa untuk beberapa hari? Karena biasanya menunggu keputusan keluarga kapan akan dikebumikan sekaligus adanya alasan medis yaitu untuk membuktikan bahwa orang tersebut benar benar telah meninggal.

3 Die Totenbahre adalah tandu jenasah atau keranda.

4 �Karna tak seorang pun kuasa menghapukannya�. Gagasan ini diadopsi dari syair Sastrawan Besar Si Burung Merak, W.S. Rendra dalam sajaknya yang berjudul �Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya�. Adapun sajak aslinya berbunyi,� Tolehlah lagi ke belakang, ke masa silam yang tak seorang pun kuasa menghapuskannya….�. (Yang ada pada penulis rekaman pertunjukkannya dalam bentuk kaset.)

========================================
Pengirim : gendhotwukir
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *