AIR mata yang menuruni lereng pipinya dan kemudian jatuh ke laut melewati celah lubang jembatan besi dermaga, setidaknya menambah volume air laut sore itu. Tangisnya pecah, lalu menghambur dalam pelukanku menumpahkan semuanya. Dekapannya bagai cakar rajawali yang mencengkeram mangsa. Begitu kuat. Begitu kokoh seakan tak ingin melepaskannya. Sirene kapal yang menandakan sebuah keberangkatan membangunkannya dari mimpi keegoan. Perlahan dekapannya mengendur. Aku segera melompat ke dalam kapal. Pintu kapal bergerak naik tertarik rantai, melepaskan pagutannya pada bibir dermaga. Seperti itulah jabat tangan kami, perlahan terlepas menyisakan ujung jari tengah bersentuhan untuk kemudian benar benar terlepas. Kapal mulai bergerak meninggalkan dermaga. Meninggalkan puluhan tangan yang melambai melepas kepergian orang orang tercinta. Meninggalkannya di tepian dermaga penantian dengan air mata yang terus saja mengalir tiada henti.
Kapal semakin jauh meninggalkan dermaga. Aku duduk di atas geladak sambil terus memandangi dermaga. Ia semakin mengecil, kemudian menjadi sebuah titik sebelum akhirnya lenyap dalam batas kemampuan pandang manusia. Hanya tersisa sabana dan bukit gersang yang terlihat dalam balutan kemerahan senja. Dermaga memang tempat keramat, tempat pertemuan dan perpisahan sepasang hati. Dermaga banyak menyimpan kisah tangis perpisahan dan ceria pertemuan. Entah mengapa aku enggan mengalihkan pandanganku? Ada sesuatu yang tertinggal disana. Pandanganku kali ini adalah obat terakhir kerinduanku di hari hari mendatang. Aku tak tahu kapan aku dapat melihatnya lagi? (kalau dibagian ini anda membutuhkan ilustrasi musik, bayangkanlah theme song dari film Titanic yang berjudul My Heart Will Go On).
Aku masih terbayang butiran butiran air matanya yang jatuh menambah keasinan laut. Aku yakin sampai saat ini air mata itu masih tersisa disana. Tadi aku memang tidak menangis. Aku sengaja menyimpan tangisanku walau gelombang kesedihan menghantam karang hatiku. Aku laki laki. Terlalu cengeng menangisi sebuah perpisahan. Aku merasa tantangan dan derita yang menantiku di tana rantau nanti lebih membutuhkan tangisanku.
Keadaan memang kejam. Kesulitan hidup memang tak berperasaan. Kelangkaan kesempatan untuk mengais rupiah melepas paksa diriku dari tambatan hati. Menyingkirkanku dari kampung halaman. Ajakan seorang sahabat lama untuk mengadu untung di tana orang sepertinya satu satunya tetesan embun di padang gersang keputusasaan. Aku hanya bisa berharap kapal ini suatu hari dengan keadaan yang berbeda dapat mempertemukanku kembali pada dermaga itu. Juga padanya.
Hari ini aku bertemu dengan dermaga. Tapi kali ini lain, dermaga ini milik orang, milik tana rantau dan tak ada dia yang menantiku dengan ceria pertemuan. Ini adalah hari pertamaku menjejakkan kaki di tanah Jawa. Tanah yang bagaikan surga kata orang orang. Tampak dari kejauhan lambaian tangan sahabatku yang menjemputku. Aku segera berjalan ke arahnya sambil menyandang ransel besar dipundak.
“Gimana perjalanannya?” sambil melepas rangkulannya.
“Baik, hanya saja aku masih sedikit sea sick.”
“Tak apalah yang penting kau selamat sampai di sini,”

Aku hanya bisa bertanya dalam hati, dimanakah ia tinggal? Entah sudah berapa kelokan gang sempit yang kami lalui. Tidak jarang kami harus menunduk untuk menghindari pakain dalam wanita yang masih basah, tapi belum juga menunjukkan tujuan untuk sampai.
“Di ujung gang itulah kosku,” katanya seakan mengetahui apa yang ada dalam benakku.
Aku hanya bisa tercengang ketika memasuki ruangan berukuran 3 x 3 dengan berdinding gedek berlapis berbagai jenis Koran. Ada berita pemerkosaan, pencurian, penangkapan para aktivis oleh aparat. Ada gambar politisi yang tersenyum lebar sambil berjabat tangan, mungkin deal politik mereka sukses. Ada gambar presiden sedang menggunting pita meresmikan sebuah kondominium. Ada gambar pejabat berwajah tegang di depan meja para hakim. Ada juga gambar pengemis yang tertidur lelap berbantalkan sebelah tangan di sebuah emperan. Kehidupan kota memang kontras pikirku. Surga yang kata orang orang mendadak lenyap ketika aku berada dalam ruangan ini.
“Mandi dulu biar seger.”

Lebih elok kabar dari rupa. Begitulah kira kira istilah yang tepat untuk apa yang aku rasakan saat ini. Tidak di kampung halamanku, di sini juga pekerjaan bagai mencari jarum dalam tumpukan jerami. Ternyata krisis lapangan kerja tidak hanya masalah di kampungku tapi masalah kota, masalah bangsaku.
Berkali kali pimpinan bangsa ini berganti. Berkali kali juga aku berganti pekerjaan, mulai dari tukang parkir, loper Koran, tukang cuci mobil, penjaga bilyard, sampai berdagang barang rongsokan pernah aku lakoni tapi tetap saja tidak merubah keadaanku. Bahkan kalau boleh jujur aku lebih sengsara. Hingga pada suatu hari nasib baik mengantarkanku di gerbang ini. Gerbang rumah mewah. Rumah yang kelak membuatku menangis.
Aku di terima sebagai sopir oleh keluarga Pak Handoyo. Tugasku terbilang cukup ringan hanya mengantarkan anak anak ke sekolah kemudian kembali ke rumah, kalau kalau istri Pak Handoyo yang cantik itu ada keperluan di luar dan membutuhkan jasaku.
Hari hari pertama berjalan lancar, tak ada alasan untuk sekedar berpikir berhenti atau mencari pekerjaan baru. Gajiku cukup lumayan bahkan aku diperbolehkan untuk menempati sebuah kamar di samping garasi. Kamar yang sangat mewah bila dibandingkan dengan tempat tinggalku sekarang. Dengan berat hati kutinggalkan kawanku yang terjebak di miniatur dunia yang dipenuhi gambar memuakkan.

Sebulan berlalu. Hari itu tak pernah aku lupakan. Semuanya berawal dari rutinitasku mengantar anak anak ke sekolah. Entah untuk keperluan apa istri majikanku ikut bersamaku pagi itu. Sesuatu yang tak biasa ia lakukan. Setelah mengantar anak anak, ia tiba tiba saja pindah duduk di depan. Kaki kanannya seolah sengaja ditumpangkan pada kaki kirinya. Roknya tersingkap menyisakan pemandangan putih mulus yang tak pernah kulihat sebelumnya bahkan dari kekasihku sendiri, kini tertangkap oleh ekor mataku. Darahku berdesir. Tak jelas awalnya, pembicaraan kami telah menembus batas antara sopir dan majikan. Seperti terhipnotis, kuturuti permintaannya untuk memasuki pelataran parkir sebuah hotel.
Malamnya kegundahan menyerangku. Kejadian pagi tadi sangat menganggu pikirannku. Aku dikejar perasaan dosa dan bersalah. Aku terbayang air mata kekasiku yang jatuh di dermaga, mungkin ia masih tetap menjaga air mata itu bersama kesetiaan. Tapi apa kenyataannya? Aku telah mengkhianatinya. Aku kotor. Aku berdosa. Kepalaku terasa panas. Tiba tiba sebuah bayangan putih menembus kamar. Oh dia, kekasihku datang dengan sisa airmata yang hampir mengering. Segera aku bangkit ingin memeluknya untuk meminta maaf, tapi aku hanya menabrak dinding kamar yang mementalkanku kembali. Aku jatuh terduduk di tepi ranjang. Tak terasa ada butiran hangat yang menuruni pipiku. Ternyata aku menangis. Apakah ini yang kumaksud membuatku menangis?

Tana Rantau, 29 November 2004

Deddy S. Tamorua

========================================
Pengirim : Deddy S. Tamorua
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *