Minggu di Padepokan Tebet, 20 07 03.

1:

“Ndang moleo, rek. Iki Patrang lagi nggoreng terong. WW lagi ndadar telor,” suara Cipeng ketika menelponku, sewaktu aku sedang ada acara sosial di Cililitan.
Hari masih pagi. Jam di hp ku masih menunjuk ke angka 10. “Loh, lah ono opo, kok aku sampek dikon moleh barang?” rasa penasaranku mulai menguap.
“Kita makan pagi bersama. Iki yo nggawe sambel trasi barang kok,” Cipeng menambahi. “Wis ndang cepet mrene “.

“Mm, kayanya enak nih? ,” gumamku.
Aku pun cepat cepat pulang. Kutinggalkan sebentar urusan sosial, karena kaum fakir miskin yang aku undang pagi itu, belum juga datang. Akhirnya
kuputuskan, aku harus ikut makan pagi bersama dengan teman temanku. Kupikir, kebersamaan adalah segala galanya. Kuajak salah seorang temanku dari Cililitan untuk menemaniku. Dengan
maksud, jika aku balik ke Cililitan, biar ada temannya.

Dengan bebek besiku, kita meluncur menuju Padepokan. Dengan kecepatan 80 100
km/jam, aku teruskan jalanku. Sesampai di POM bensin Jl. Raya Pasar Minggu dekat patung Pancoran, celana jeansku bergetar. Tentu ada yang menelponku.

Kulambatkan bebek besiku sambil menepi. Kurogoh kantong, kuambil hp, kulihat
display. Cipeng lagi…Cipeng lagi….
Kubiarkan saja. Takcuekin. Sebegitu kangennya dia ke aku? : ) Sampai kurasa tiga kali jeansku bergetar. Tetap aku cuekin.

2:

Dari Cililitan ke Padepokan, mungkin hanya 10 15 menit. Sesampai di rumah, kulihat, makanan sudah siap saji di atas meja satu hal yang begitu aku suka, karena tidak harus melewati proses ikut memasak alias tinggal makan : ).
Ada gorengan tempe setengah kering. Pindang dikasih tepung telur. Gorengan terong, telur dadar. Plus, sambal terasi kesukaanku. Menyenangkan
Hebat betul. Salut buat Patrang Apa pernah belajar jadi juru masak, Gus?

Cipeng juga pinter masak. Bagianku barangkali cuman cuci piring, sendok, garpu, dan tempat penggorengan.

Cipeng berlari lari membeli nasi ke warung Bu Haris warung yang dulu pernah membuat Cipeng dan Wanus keracunan sehabis rapat IAW membahas pendirian “PT Wikusama”, kacihan de lu…: ). Kasihan deh, Cipeng. Tadi dia
nelpon aku tentu pengin nitip nasi, tapi aku dalam perjalanan, sehingga tidak sempat membelikan titipannya.

Setelah Cipeng tiba dengan enam bungkus nasi dan es teh manis, kita pun mulai makan bersama.
Hm, mengesankan Sayang, tidak ada ikan asin, ikan favoritku.

Hari itu, Padepokan tanpa Wanus karena dia masih di Tangerang; acara keluarga. Kita akhirnya hanya makan pagi bersama, berempat saja.

Kuambil tempe dan pindang. Kutaruh dalam cowek (cobek). Kutekan dengan ulek ulek. Tempe dan pindang itu jadi penyet di antara sambal terasi
bikinan Patrang.
Aku jadi teringat kalau main ke Surabaya. Dulu, Cak Usma sering mengajakkku jalan jalan malam, keluyuran, hanya sekedar mampir ke warung khusus yang menyediakan tempe penyet. Di warung itu, kita makan sepuas puasnya. Dan
bila perut sudah kenyang, kita kemudian pulang. Menghempaskan badan ke kasur atau
tikar. Sambil mendengarkan kaset Kartolo an, dan kita pun terlelap dalam buaian kekenyangan.

Tidak hanya dengan Cak Usma. Bila ke Surabaya, kadang aku juga ditemani Ninis atau Dodik, jalan jalan malam, hanya sekedar mencari sambel terasi
dengan tempe penyetnya. Itu saja sudah cukup nikmat, rasanya. Salah satu karunia Tuhan bagi manusia; tempe penyet.

3:

Patrang nambah setengah nasi. WW dan Cipeng begitu lahapnya habis berkebun, mas? : ) Sementara temanku dari Cililitan, tidur lesehan di
balai depan kamar. Ia sudah makan, karenanya dia tidak mau makan bersama. Dia mencoba untuk tidur, memejamkan mata sebentar. Angin semilir dan suasana sejuk taman padepokan memang bisa membius siapa saja yang tidur di balai bambu itu.

Tak terasa, sambal terasi di cowek itu habis. Sementara masih tersisa satu bungkus nasi. Andaikan saja, sambalnya masih ada, tentu aku akan nambah.

Sambal terasi bikinan Patrang memang benar benar sangat menggoda. Dan cowek itu hanya tersisa ampasnya saja. Patrang pinter masak, ataukah karena itu terasi punya Gusti Allah
istilah untuk sesuatu yang belum jelas kepemilikannya : ), sehingga rasanya begitu
enak? Apa daya, nasi di bungkusanku sudah hampir habis. Urusan terasi, biar nanti
ijin sama yang punya. Nasi itu benar benar habis.
Tinggal tugasku mencuci piring.

Cipeng kelihatan mengantuk. Keracunankah lagi dia? Sepertinya, tidak Itu mungkin sudah menjadi penyakit bawaan Cipeng, habis makan kekenyangan, terus maunya pengin tidur. Merebahkan badannya yang mulai membengkak tidak beraturan makanya, kalo Minggu pagi jogging, mas? : )

Acara makan pagi bersama itupun usai. Aku harus balik ke Cililitan. Ada umat di sana yang harus kuurus. Kuambil bebek besiku. Kutancap gas, menuju Cililitan.

4:

Sayang, minggu depan (atau bahkan dua minggu lagi) kebersamaan sesuatu yang mahal itu tidak mungkin terulang kembali. Aku dan Patrang ke
Bandung. Patrang urusan kantor, sementara aku ngurus “under ground”. Cipeng ke Surabaya ketemu permaisuri. Sementara WW, aku tidak pernah tahu pasti. Yang pasti, yang tersisa hanyalah seorang manusia; Wanus, namanya. Dia
yang akan menunggu padepokan seperti layaknya penunggu rumah kosong. Aku berharap
dia bisa menjadi layaknya pendeta yang sedang bertapa, mendalami ilmunya. Sungguh mengenaskan nasibmu, nak? : )

(c) by GJ dalam coretan yang tak berpola

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *