Setelah lama sekali terpisah oleh jarak dan waktu, takdir mempertemukanku lagi dengan sosok itu. Minggu siang itu, aku melihatnya lagi di warung depan gedung baru SMP 56 di Jeruk Purut, Jakarta Selatan. Duduk sendirian sambil merokok, seperti menunggu seseorang. Bercelana jeans dan kaos lengan panjang merah tua, padahal di bawah teriknya matahari. Tampak jangkung dan kurus sekali, serta agak bungkuk. Rambut ikal gelapnya tampak berantakan. Wajah tirusnya tampak pucat, tidak segelap yang kuingat. Tapi aku yakin sekali, dia orang yang sama.
Mengapa aku kebetulan di sana? Ya, selain takdir, mungkin aku juga sedang bingung. Memang situasi yang aneh saat itu. Umurku 22, lulusan D3, dan�belum punya pekerjaan. Menulis hanyalah salah satu keahlian yang kuandalkan, tapi belum ada hasil yang pasti hingga sekarang. Masih honorer dan banyak yang ditolak.
Jadi, siang itu aku mencari inspirasi dengan datang ke sana. Sebelum SMP 56, gedung itu sempat menjadi SMP ku. Dan warung depannya dulu warung masakan Padang favorit kami dan teman teman seangkatan. Kami suka nongkrong di sana dan makan ayam goreng, rendang, atau udangnya yang memang enak sekali. Sampai Babe pemilik warung itu hapal muka muka kami. Bunda, Mas Yusri, hingga Mas Okta keluarga Babe juga. Kemana mereka sekarang?
�Nando?�
Pemuda jangkung dan kurus itu langsung menoleh padaku. Sesaat keningnya berkerut, seperti berusaha mengingat ingat. Kuhampiri dia tanpa ragu.
�Ran � serunya takjub. Seulas senyum manis terkembang di wajahnya saat kami bersalaman. Masih setampan dulu, aku kagum. Namun, kenapa matanya tampak redup dan lelah? Merah, seperti tak tidur berhari hari. Lingkaran gelap di sekeliling matanya memudarkan cahaya semangat yang dulu selalu kulihat. Pijar pijar memikat, saat kami sama sama masih 14 tahun.
�Apa kabar?� Tanpa dipersilahkan, akhirnya aku langsung duduk di sampingnya. Aneh, sepertinya dia agak kurang senang melihatku. Waktu yang tidak tepat??
�Baik.� Toh, Nando masih mau tersenyum padaku. Sempat dia melirik arlojinya sekilas. �Ngapain di sini?�
Pertanyaan bagus. Haruskah kukatakan bahwa aku hanya seorang penulis musiman yang sedang mencari inspirasi? Kedengarannya terlalu janggal. Aku juga tidak mau dianggap aneh dan jadi bahan tertawaan.
�Iseng aja, liat liat bekas SMP kita,� jawabku akhirnya, berusaha terdengar ceria dan wajar. Untung hari libur, jadi tak perlu membahas pekerjaan. �Kamu?�
�Sama,� kata Nando sambil mengangkat bahu. Tampaknya dia tak peduli. Dia tidak banyak memandangku, malah celingukan. Sepertinya dia benar benar tengah menunggu seseorang dan sama sekali tidak mengharapkan kehadiranku. Buktinya, selanjutnya dia hanya diam. Padahal, dulu kami cukup dekat. Malah, bisa dibilang dia salah satu pahlawan dalam hidupku.
Aku berusaha mencegah sakit hati yang mendadak terasa. Sambil mengatur napas, kuusahakan agar pembicaraan kami tak terputus begitu saja.
�Aku udah lama banget, nggak denger kabarmu sejak terakhir kali kutelepon pas SMA,� kataku mengingatkan. �Kuliah dimana sekarang?�
Nando masih diam. Aku mulai jengkel. Sombong amat sama teman lama Namun, saat memandangnya, mendadak aku tertegun. Wajah itu jadi tampak dingin dan kaku, dengan sepasang mata kelam yang menyorot hampa. Entah kenapa, ada rasa tak enak berdesir mampir di dadaku. Dia sedih??
�Sori, Ran,� ujarnya tiba tiba, lalu tersenyum lembut padaku. Senyum yang juga tampak getir. �Aku nggak betah kuliah.�
�Oh.� Sepertinya ada yang disembunyikannya dariku. �Masih suka nge band?�
Nando menggeleng. Padahal, dulu kami suka manggung bareng di acara acara sekolah. Masa masa SMP yang indah. Saat dia senang bermain gitar bak Graham Coxon, sementara aku menyanyi seperti Alanis Morrisette�
�Kamu sendiri gimana?� Gantian dia bertanya. Aku sempat gelagapan oleh tatapannya yang tiba tiba tajam. �Masih sering nyanyi?�
�Hmm, jarang. Cuma hobi.�
�Kuliah?�
�Baru lulus dari D3 Broadcast di UI.�
�Selamat.� Saat bersalaman lagi, baru kusadari betapa kasar dan dingin telapak tangannya. �Kamu dulu pernah bilang mau jadi wartawan atau penulis. Enak ya, kalo cita cita tercapai?�
�Eh, iya,� sahutku gugup. Apa maksudnya bicara begitu? Seingatku, dulu dia ingin jadi musisi. Kenapa dia terdengar begitu apatis sekarang? Aku tidak bicara lagi, karena dia langsung menyimpulkan dari jawabanku. Perasaanku semakin tidak enak. Apalagi, kulihat dia kembali merokok dengan canggung. Tangannya gemetar. Lagi lagi dia melirik arloji dan sekeliling dengan mata liar. Tiba tiba saja aku benar benar merasa sebagai pengganggu di sampingnya. Kurasa dia sedang butuh sendirian, menunggu seseorang. Mungkin pacar. Karena itulah, aku langsung bangkit dengan sedih dan enggan.
�Oke, kalo gitu aku cabut dulu,� gumamku dengan suara gemetar. Sialan, apa yang membuatku tiba tiba mau menangis begini? �Kapan kapan boleh kutelepon?�
�Aku udah nggak tinggal di situ lagi,� sela Nando cepat. Menyadari kekagetanku, dia langsung tersenyum menenangkan. �Aku aja yang telepon kamu. Masih sama, kan?�
�Ya.� Hanya segitu percakapan kami. Sebenarnya, masih banyak sekali yang ingin kuketahui tentangnya. Sial, badanku tak mau kompak Aku hanya tersenyum dan melambai padanya, lalu berbalik dan pergi. Tidak menoleh lagi�
Andai tak ada Nando, mungkin aku akan tetap menjadi gadis gendut pendiam, pemalu, dan�kutu buku. Dia cowok pertama yang memandangku lebih dari sekedar cewek gendut yang sering jadi bahan ledekan anak anak lain. Dia pernah mendengarku menyanyi dan bilang suaraku bagus. Lalu, kelas dua SMP, kami mulai nge band bareng. Kepercayaan diriku pun berkembang. Aku tak lagi menjadi bahan ejekan, melainkan pujian. Makanya, Nando kuanggap pahlawanku, meski dia tak pernah tahu. Aku memang menyukainya, tapi dia sudah punya pacar yang cantik. Aku tidak mau sampai mengganggu mereka berdua dan merusak persahabatan kami. Lagipula, biasanya cinta monyet takkan bertahan lama, kan?
Nando selalu baik padaku. Dia juga pintar. NEM nya saja bisa sampai 44 waktu lulus SMP. Padahal, dia juga badung, hingga sering membuat guru guru kewalahan. Sering bolos, pernah diskors gara gara berkelahi dengan adik kelas, hingga menjahili cewek cewek di sekolah selain aku, entah kenapa. Pihak sekolah juga pernah ikut pusing gara gara dia pernah kabur dari rumah selama tiga hari, setelah ribut dengan ibunya. Waktu itu, aku juga cemas, tapi tak pernah berani bertanya padanya saat dia kembali. Takut dia marah, kurasa.
Tapi, aku tetap suka padanya. Dari Nando, aku belajar menghadapi dunia dengan berani dan tidak terlalu serius. Untungnya aku tidak sampai ikut jadi badung.
Setelah lulus SMP, kami pisah SMU. Aku sempat merasa kehilangan sekali, tapi kuputuskan untuk tetap melanjutkan hidup. Selama itu, aku pernah mendengar sekali kabar tak enak tentang Nando dari beberapa teman seangkatan kami. Kata mereka, Nando mulai bergaul dengan berandalan dan coba coba narkoba. Badannya juga semakin kurus. Aku tidak percaya dan tidak mau terima. Kutelepon dia, tanpa menyebut nyebut soal desas desus narkoba. Dia hanya tertawa geli saat kutanya keadaannya. Dia bilang dia baik baik saja dan aku pun percaya. Dia hanya terlalu sering membolos, hingga akhirnya dikeluarkan dari sekolah dan terpaksa mencari SMU lain. Memang dasar badung. Dia pintar, tapi hanya mau jadi musisi.
Lalu, aku sempat melupakannya selama kuliah. Hingga siang itu.
Tapi, malamnya aku sendirian dalam gelisah di rumah. Entah kenapa. Kupindah pindah saluran TV, mencari cari acara bagus. Percuma. Akhirnya aku berhenti pada siaran berita. Baru saja kuletakkan remote di pangkuan, sebuah berita menyedot seluruh perhatianku. Aksi polisi menggagalkan sebuah transaksi narkoba. Bandarnya tewas ditembak polisi, setelah berusaha melarikan diri. Tempatnya�ya, Tuhan
Mataku tak sanggup lagi berkedip. Aku tak sanggup bergerak maupun bernapas. Mendadak dadaku rasanya sesak.
Di sana, tempat kami bertemu beberapa jam sebelumnya. Pahlawan masa remajaku terkapar kaku, dengan mata terbelalak ngeri. Kamera mengambil gambar zoom in ke BCU (big close up) separuh badannya, tanpa sensor di bagian wajahnya. Ada tiga lubang peluru merobek kaosnya�
SELESAI
Jakarta, 21 Juni 2004, 2:00 � 8:40 PM
========================================
Pengirim : RUBY ASTARI
========================================