Aku terjaga. Kegelapan menyelimuti diriku. Aku merasa, tak ada tanda tanda kehidupan di sekelilingku. Di manakah aku saat ini ? Aku tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Apakah aku sedang bermimpi ? Apakah aku sudah mati ? Aku sungguh tak mengerti dengan keadaan ini. Aku ingin berteriak meminta pertolongan kepada siapa saja yang aku jumpai. Sayang, aku tak sanggup melakukannya. Aku terlalu lemas. Aku tak berdaya. Suara yang keluar dari tenggorokanku tak ubahnya desisan seekor ular. Semakin aku berusaha ingin berteriak, semakin terengah engah nafasku.
Gerakan anggota tubuhku tak dapat kukendalikan. Tangan, kaki dan kepalaku tak dapat kuperintah lagi. Aku berhadapan dengan dunia yang begitu asing. Tangan, kaki dan kepalaku memang masih menyatu dengan tubuhku, namun tidak menjadi milikku. Sejak kapan mereka enggan menuruti perintahku, aku tak mengerti. Ketika aku berusaha ingin bangun, semakin pula organ organ tubuhku menolaknya. Meski demikian, aku terus berusaha. Aku ingin pergi dari tempat celaka ini. Aku ingin keluar dari dunia yang menyeramkan ini.
Aku tak mampu. Semakin bertambah keinginan dan usahaku untuk membebaskan diri dari keadaan menakutkan ini, semakin peninglah kepalaku dan puncaknya aku tak sadarkan diri.
Suatu ketika aku mendengar suara langkah manusia. Samar samar kudengar seseorang berkata, �Ah, tidak ada perubahan.� Pikiranku lantas menerka nerka, siapakah orang tersebut. Aku menduga, ia seorang lelaki tua. Suaranya sudah cukup berat. Sesaat kemudian, kurasakan mataku disentuh oleh seseorang. Tiba tiba saja cahaya yang sangat menyilaukan melintas di mataku. Aku tersentak. Seketika itu juga gerakan tangan dan kakiku tak dapat kukendalikan. Aku meronta.
Aku terdiam dan sedikit lebih tenang. Lalu kubuka mataku pelan pelan. Samar samar kulihat wajah seorang yang tak mampu kukenali. Dengan pandangan penuh selidik ia menatap diriku. Ia mendekatiku. Ia mengelus elus kedua matakku lalu dengan lembut membuka dan menutup kelopak mataku berulang ulang. Aku masih tak mampu bersuara. Aku ingin berteriak karena tiba tiba ada bayangan bayangan hitam dengan wajah wajah menyeramkan mengerumuniku, pada saat lelaki tua itu menutup kelopak mataku untuk beberapa saat. Dari mana datangnya bayangan bayangan menyeramkan itu datang, aku tak tahu. Tiba tiba saja bayangan bayangan itu muncul. Selanjutnya ketakutan yang luar biasa menyelimuti diriku. Aku terengah engah. Aku meronta sejadi jadinya karena ketakutan.
Tak lama kemudian, kurasakan tangan tangan yang perkasa memegangi kedua tangan dan kakiku. Aku berusaha melawannya namun aku terlalu lemah. Aku merasakan sengatan di bagian lengan kananku. Seseorang telah membiusku. Aku tak sadarkan diri.
Aku kembali terjaga, saat tangan tangan yang perkasa berusaha menegakkan posisi tubuhku. Aku berusaha membuka mataku. Di hadapanku berdiri seorang bapak tua yang menimang nimang diriku. Aku mencoba menerka nerka siapakah lelaki tua yang berdiri di hadapanku ini. Aku mengerti kini. Ia seorang dokter. Di sampingya juga berdiri seorang gadis muda, dan tak salah lagi, ia seorang suster perawat, pikirku. Aku sadar kini bahwa aku di Rumah Sakit. Atas kesadaran keberadaanku itu, aku sungguh merasa nyaman. Entah kenapa, aku juga tidak tahu. Perasaan ini tiba tiba saja muncul dari alam bawah sadarku.
Dengan sisa kekuatanku, aku mencoba berbicara dengan mereka. Aku ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada diriku. Aku tak mampu melakukannya, karena rasa sakit yang luar biasa di bagian kerongkonganku. Semakin aku ingin berbicara, lagi lagi gerakan anggota tubuhku tak terkendalikan dan tak lama kemudian lelaki tua itu segera menyuntik diriku di bagian lenganku, dengan dibantu beberapa orang yang memegangi diriku. Sesaat kemudian aku merasa melayang ringan, aku seperti terbang. Keinginan untuk berbicara menghilang. Penglihatanku mulai kabur. Aku seperti sedang mabuk. Kenyataan tidak mampu aku kenali lagi. Aku tidak mampu berpikir jernih lagi. Wajah orang orang di hadapanku tidak jelas lagi. Berapa lama aku berada dalam keadaan seperti ini, aku tak tahu. Selalu saja begitu, ketika aku terjaga dan meronta karena sakit yang luar biasa, seseorang menyuntik diriku di bagian lenganku. Aku tak sadarkan diri untuk kesekian kalinya.
Kadang kadang aku melihat wajah wajah lain ikut sedih dengan penderitaanku. Dari mimik wajahnya, aku bisa menterjemahkannya. Sayang mereka semua tak bedanya dengan dokter yang menanganiku. Dokter dan perawat itu hanya menyibukkan diri dengan parahnya lukaku. Mereka tidak pernah sekalipun berusaha berkontak dengan diriku. Mereka hanya menyibukkan diri dengan tubuhku, tidak dengan diriku.
Aku mendengar suara orang orang di sekelilingku ketika mereka berbicara tentang diriku. Tapi, tentu saja tidak begitu jelas bagiku karena pengaruh obat obatan yang telah mengendalikan diriku.
� Bagaimana keadaannya, Dok ?� tanya seorang ibu tua di suatu sore.
�Ya, semakin membaik.�
� Itu luka tembakan di……… ?�
�Ssssssssst … � sergah dokter, sambil melirik diriku. Ia tahu bahwa aku masih terjaga. Aku merasa, ada sesuatu yang ingin mereka sembunyikan dariku.
Tembakan ? Aku tertembak atau di tembak ? Oleh siapa ? Mengapa ? Aku berusaha mengingat setiap kejadian sebelum ini. Sia sia, tak kutemukan satu pun peristiwa yang masih tersimpan dalam memori otakku. Tentu saja aku ingin mengetahui maksud perkataan ibu itu. Namun aku kini menyadari, setiap aku ingin berbicara, pasti gerakan tubuhku akan tak tentu arah. Tentu saja aku kini harus mampu mengendalikan keinginanku pula, agar dokter tak bergegas membiusku, kala aku meronta. Selalu saja teringang kata ibu tua tadi, justru karena aku tak mengerti maksud perkataan itu.
Telah berhari hari lamanya orang orang di sekelilingku hanya menyibukkan diri dengan keadaan jasmaniku yang kritis dan tidak pernah sekalipun dengan diriku. Mereka tidak peduli dengan diriku. Tak seorangpun berusaha menyapaku. Aku merasakan kesepian yang mendalam.
Meskipun yang kudapati hanyalah kesepian, aku berusaha untuk tidak bertanya meski keinginan itu tetap ada. Bagaimana juga aku dapat bertanya, sementara aku tak mempunyai lidah lagi. Lebih dari itu, agar aku lebih berkonsentrasi pada setiap pembicaraan orang orang yang mengelilingiku.
Sayang, tak seorang pun berusaha berbicara denganku, tetapi selalu hanya tentang diriku dan parahnya lukaku. Keberadaanku di hadapan mereka bukan lagi sebagai seorang manusia lagi, yang punya pikiran, perasaan, dan keinginan untuk tahu, melainkan sebagai seorang yang musti dikasihani dan memerlukan penanganan medis yang serius.
Bukalah mata kalian lebar lebar, saya, toh, di sini, pikirku dalam dalam lalu ingin kumuntahkan dalam teriakan yang lantang. Tak satu kata pun keluar dari mulutku. Aku sama sekali tidak punya harapan untuk berkomunikasi dengan mereka. Sepertinya aku dan kenyataan di luar diriku telah terbatasi. Orang orang yang mengelilingiku hanya melihat dunia dari kacamata mereka sendiri, tidak pernah sama sekali mencoba memahami bahwa masih ada sudut pandang lain, katakankah kepunyaanku. Aku yakin mereka tak memahami diriku, bahkan jika mereka telah berpikir dengan segala kesadaran mereka tentang diriku, mereka tak akan pernah menemukan aku dan keinginanku karena aku bukan hanya tubuh saja. Aku telah mati, meskipun aku hidup di hadapan mereka..
Sudah berapa hari aku berbaring, aku tak tahu, hingga suatu ketika datang seorang perempuan muda berdiri di hadapanku dan memperhatikanku dengan seksama. Ia tampak ragu ragu dengan apa yang ingin dilakukaknya. Ia berkali kali datang mendekatiku dan memandang ke kedalaman mataku. Ia mencoba membaca diriku dari sudut mataku. Sayang aku tak mampu menatapnya terlalu lama, karena tiba tiba saja kurasakan nyeri yang luar biasa di bagian pahaku. Tentu saja, satu satunya kesempatan untuk berkomukasi yang baru saja akan aku bangun itu, lenyap begitu saja. Aku merintih kesakitan. Kepalaku menjadi pusing.
Suatu ketika perempuan muda itu membacakan sebuah buku. Kalau tidak salah dengar dari setiap pembicaraan di antara mereka yang menungguiku, itulah buku kesayanganku. �Zarathusta� karya Friedrich Nietzsche yang telah diterjemahkan oleh HB Jassin ke dalam Bahasa Indonesia. Sayang, aku sama sekali tak memahaminya. Sudah beberapa alinea dibacanya, namun aku tak tertarik sedikit pun. Aku sudah tidak mau mendengarnya. Semakin lama pikiranku kuarahkan pada hal hal yang membutuhkan konsentrasi penuh, pening yang kudapati. Dengung di dalam kepalaku semakin mengeras. Saat itu aku tak dapat mengendalikan pikiranku. Aku memejamkan mataku dan menggeleng gelengkan kepalaku.
Perempuan muda itu berhenti membaca untukku dan memegang tanganku. Kali ini ia memegang kepalaku sehingga untuk waktu yang cukup lama kami saling bertatapan. Saat itu batinku menjadi seperti terbebas dari suatu ikatan yang telah memenjarakan diriku dan dari batas antara diriku dan kenyataan hidup di luar diriku. Saat itulah aku merasakan kebahagiaan mengalir dalam kehidupanku. Aku merasakan ada kehidupan, setelah bermil mil jauhnya melintasi padang pasir kesepianku, meski selama itu juga tak kupikul lagi harapan akan kehidupan seperti yang terjadi kali ini.
�Kamu mengerti aku ?� tanyanya tiba tiba. Ingin sekali aku berteriak sekuat tenaga � Ya � Sayang, lagi lagi hanya desisan yang keluar dari tenggorokanku. Sekali lagi kami saling bertatapan. Disitulah kutemukan pohon rindang, di kala terik dalam perjalannan hidupku. Segar dan sepoi angin yang menyapu wajah kehidupanku. Aku merasa ketentraman dan kedamaian yang luar biasa.
�Kamu mengerti aku ?� tanyanya sekali lagi. Maka saat itu juga kupejamkan mataku sebagai tanda jawaban �Ya�.
Aku yakin ia mampu menafsirkan kedipan mataku. Ia memahami diriku. Ia mengerti kesendirianku dan kesepianku. Ia pun tiba tiba menangis. Aku tersentuh. Pada saat itu juga, aku menangis untuk pertama kalinya di dunia ini, seperti untuk pertama kalinya tangis bayi ketika lahir di dunia ini, karena saat itulah memang kelahiranku di dunia ini. Aku menangis karena terbebas dari kesendirian. Perempuan itu memegang erat tanganku dan dengan penuh kasih sayang ia berkata, � Maafkan aku, mulai sekarang aku akan selalu bersamamu.� Pada saat itu juga kesepianku lenyap seketika. Aku tidak seorang diri, karena sesungguhnya aku memang tidak mampu hidup seorang diri. Aku butuh teman hidup yang mengerti diriku.
Inilah kisah awal kelahiranku ke dunia ini. Aku lahir ke dunia bukan sebagai seorang bayi. Tapi itulah diriku. Aku tidak dapat berbicara karena aku tidak mempunyai lidah. Aku tidak bisa pergi kemana mana. Aku lumpuh total. Kamarku adalah duniaku. Ketika santap siang atau malam tiba, aku makan seperti anjing karena kedua tanganku tidak berdaya lagi. Perempuan muda yang kini telah kuketahui namanya, Silvia, mungkin karena tidak tega atau kasihan melihat keadaan diriku, segera saja menyuapiku ketika melihatku makan dengan susah payah. Kadang pula menetes air matanya, tanpa kuketahui sebabnya.
Silvia, yang akhir akhir ini mengaku sebagai belahan jiwaku dan terus menyakinkan diriku bahwa dirinya adalah calon isteriku, di suatu malam menceritakan bahwa orang orang yang selama ini menungguiku di rumah sakit adalah orang orang dekatku sendiri. Ayah dan ibuku, kakak dan adikku, kerabat kerabatku, kenalanku, teman SD, SMP, SMA dan teman di bangku perkuliahan. Sayang aku sampai saat ini tidak yakin bahwa ada masa lalu yang telah terekam dalam hidupku dalam kebersamaan bersama mereka. Aku terus mencoba menemukan mereka di masa laluku, tapi tak kutemukan jejak sedikitpun. Mereka adalah orang orang baru di duniaku.
Beberapa tamu yang mengunjungiku sering berbicara dengan bersemangat tentang diriku di ruang tamu, yang tak jauh dari tempat tidurku. Dari setiap pembicaraan yang aku dengar dari mereka yang sering mengunjungiku, aku merasa heran dengan diriku sendiri. Kata mereka, pada tahun 1997, aku menghilang. Dugaan mereka aku diculik oleh sekelompok orang berambut cepak karena terlibat kegiatan makar menentang pemerintahan yang sedang berkuasa. Aku dituduh menggerogoti stabilitas nasional, anarkis, tidak mencerminkan ideologi Pancasila dan mengajarkan paham komunis.
Keberadaanku hingga tahun 1998 tak seorang pun mengetahui, juga pihak Kapolres dan Kodim setempat, katanya. Sampai suatu hari aku ditemukan oleh seorang pencari kayu di hutan belantara di pulau Kalimantan dalam keadaan yang sangat mengenaskan.
Sayang, aku tak mengerti omongan mereka tentang diriku. Juga saat mereka membicarakan tentang diriku yang telah mengalami cuci otak. Mereka begitu yakin, para penculik telah mencuci otakku, sehingga aku tak ingat apa apa tentang masa laluku. Hal ini kata mereka juga telah dibuktikan secara medis. Ah …, aku tak mengerti pula maksud mereka, ketika mereka bersikeras menunjukkan segudang ceritera kepadaku, yang katanya itu masa laluku.
Aku tak mengenali masa laluku. Meski setiap kali pula mereka berusaha membantuku untuk mengingat satu peristiwa saja di masa lalu, katanya untuk pijakan peristiwa peristiwa lainnya, dengan menunjukkan foto foto yang katanya foto fotoku kala aku di bangku kuliah, aku tak tahu apa apa.
Aku tak mempunyai masa lalu seperti yang mereka katakan. Aku tak mampu melahirkan masa lalu, seperti keinginan mereka. Aku juga tak tahu mengapa keadaan jasmaniku begini. Jangan lalu bertanya siapa yang telah melakukannya, karena aku tak tahu apa apa. Hanya satu hal yang kuinginkan kini yaitu ketidaklahiran bayangan bayangan hitam, wajah wajah yang menyeramkan dan tak mampu kukenali, memangsaku habis habisan, di dunia tidurku karena selalu saja membuat tidurku tidak nyenyak.
Jakarta,1998
Penulis : Gendhotwukir
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi St. Augustin, Jerman
========================================
Pengirim : Gendhotwukir
========================================