Sebelum secara rutin saya bisa berapresiasi dalam sebuah “catatan harian” di Wikusama, saya jadi teringat, dulu waktu di STM, di antara teman temanku, yang paling rajin menulis (mencatat) segala aktivitasnya tiap hari adalah Nadhor sekarang bekerja di PT Indosat, Jakarta. Entah apa yang ia tulis.

Yang jelas, pernah saya memergoki ketika ia sedang mengisi buku agenda hariannya (diary) di kos kosannya, dan dengan buru buru kemudian ia tutup buku itu, sambil mengalihkan perhatian ke hal yang lain.

Saya sendiri terkejut bukan karena apa, tapi karena Nadhor yang begitu “sangar” waktu itu kok masih sempat sempatnya menulis kisah kisah hariannya bak seorang novelis, penyair yang berhati lembut.

“Dia memang rajin menulis kejadian kejadian yang ia alami, di buku hariannya,” kata temanku yang lain.

Saya tanya, “buat apa?” Sampai di sini, pertanyaanku itu berhenti, dan saya memang tidak tertarik untuk berbuat seperti itu. Dalam benak saya, pekerjaan itu hanyalah memboroskan waktu. Melankolis, dan saya tidak tertarik yang demikian.

Kini, setelah 6 tahun kemudian, saya baru bisa menyadari betapa pentingnya arti dari sebuah “catatan harian”. Anton Chekov (1860 1904), seorang pengarang besar dari Rusia, bisa dikenal sebagai seorang sastrawan besar karena berkat isi dari catatan catatan hariannya yang begitu menarik banyak orang. Padahal, semuanya itu ia berangkat dari ketidaksengajaan dan dari segala sesuatu yang sederhana. Tapi oleh seorang pengarang besar Rusia yang lain, karya Chekov itu disebutkan sebagai sesuatu yang mengingatkan pada kita, bahwa kehidupan manusia itu ada.

Kepekaan Chekov, omelannya, gerutuannya, umpatannya, tangisannya dan protesnya pada masalah masalah sosial yang ia lihat dan hadapi, ia tuangkan semua dalam cerita pendek (cerpen). Satu demi satu cerpen dibuatnya untuk memotret kondisi sosial masyarakat Rusia waktu itu, dan orang tidak menyangka, bila kumpulan cerpennya itu kelak di kemudian hari menjadi sebuah karya sastra yang hebat. “Matinya Seorang Buruh Kecil” adalah salah satunya.

Satu novel lagi yang berisi catatan harian, yakni “Guruku Orang Orang dari Pesantren”, karya KH Saifuddin Zuhri (1919 1986). Selama ini, novel karya mantan Menteri Agama di era 60 an ini telah dijadikan sebagai bahan penelitian bagi orang orang yang ingin mengamati peran pesantren pada jaman revolusi. Banyak tulisan, tesis ataupun disertasi yang telah mengacu kepadanya.

Bagi banyak kalangan, novel ini menarik, karena berisi tiga esensi sekaligus; sebagai otobiografi, sebuah novel yang dibuat pada masa revolusi dan berisi tentang dokumen sejarah atas peran kaum santri dalam perjuangan kemerdekaan. Uniknya, novel yang menjadi karya fenomental itu awalnya berangkat (dibuat) atas desakan orang lain, bukan dari diri sang penulis sendiri.

Apapun yang dilakukan Nadhor, Anton Chekov ataupun KH Saifuddin Zuhri, walaupun konteks yang mereka lakukan sangat berbeda. Namun, sebenarnya apa yang mereka lakukan memiliki hakekat yang sama. Yakni, mencatat hal hal yang kelak itu akan menjadi sejarah bagi hidup mereka.

Potongan potongan catatan harian itu adalah potongan potongan sejarah juga. Catatan catatan harian itu bisa menggambarkan kronologis sebuah cerita, sesuatu yang terjadi, sesuatu yang baru dialami dan sebagainya, dengan bumbu suasana hati yang tidak lupa mengiringinya. Entah itu suka ataupun duka.

Dalam benak saya, orang yang paling berguna adalah tatkala ia memahami sejarahnya. Sejarah tentang perjalanan hidupnya. Sejarah yang membuat dan membentuk kepribadian, watak dan kepandaiannya, dan begitu seterusnya. Karena dengan mengetahui sejarah, orang akan tahu, di atas apa ia berpijak.
Berkat siapa ia ada dan sebagainya. Dengan memahami sejarah pula, orang tidak akan tersesat, keliru dalam memilih pilihan pilihan yang selalu ada dalam hidupnya. Dan masih banyak lagi hikmah di balik kita memahami sejarah.

Kedua, orang yang membuat catatan harian, biasanya memiliki rasa sosial yang tinggi. Karena dengan kepekaan yang mereka miliki, mereka mampu memotret apa yang mereka lihat, yang mereka rasakan, yang mereka dengar.

Intinya, panca indera mereka “berfungsi” dengan sangat baik untuk bisa menangkap “kalam” Tuhan. Karena sesungguhnya perintah iqro tidak hanya terbatas pada konteks baca kitab semata, tapi sebenarnya juga pada wilayah fungsionalisasi panca indera yang dimiliki oleh manusia.

Jadi, membuat “catatan harian” perlukah?
Siapa takut?

(c) aGus John al Lamongany, 2 Jan 02

========================================
Pengirim : Gus John
========================================

By admin

One thought on “Catatan Harian, Perlukah ?”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *