Suatu hari, seekor keledai dan seekor unta ditempatkan dalam satu istal.

“Mengapa ya…,â€? keledai memulai pembicaraan, “Aku selalu ingin tahu. Mengapa
saat menuruni bukit, aku suka terjatuh dan bawaanku tumpah berceceran sehingga majikanku memukuliku, sementara kau turun dari bukit dengan penuh ketenangan.

Apakah kau diberikan suatu kelebihan? Mengapa kau tak pernah jatuh berguling guling sepertiku?�

Unta menjawab, “Lancarnya turunku dari bukit adalah sebuah anugerah. Tapi tentu saja ada perbedaan antara kau dan aku. Tidak seperti kau, kepalaku selalu kutegakkan sehingga saat aku turun, aku dapat melihat seluruh jalanku dari atas
ke bawah. Aku dapat melihat kaki bukit itu, setiap belokannya, dan setiap lubang di sepanjang jalan itu.�

Manusia sejati juga adalah seperti unta itu. Ia senantiasa dapat melihat perjalanan hidupnya, dari kini sampai akhir hayatnya. Ia tahu apa yang akan
terjadi pada dirinya dan juga pada orang lain di sekitarnya.

Mata keledai hanya mampu melihat apa yang ada selangkah di depannya, apa yang tepat berada di hadapannya sementara unta melihat dengan pandangan yang lebih jernih dan hati yang lebih bersih.

(Diterjemahkan dari Delicious Laughter; ambunctious Teaching Stories from the Mathnawi of Jelaluddin Rumi, penyunting Coleman Barks, penerbit Maypop Books, USA, 1990. )

========================================
Pengirim : Conan
========================================

By admin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *